Rabu, 23 Desember 2020

Perempuan Dalam Pasungan

Percikan air tujuh sumur yang bercampur dengan bunga tujuh rupa diguyurkan ke seluruh tubuhku. Dingin yang tiba-tiba menyengat kesadaranku. Tak dapat ditahan oleh bebatan kain jarit ibu. Lirih terdengar alunan gamelan ritmis nan lembut dengan suara sang dalang yang kadang keras kadang melembut bergantian mengukuhkan pijakanku. Mataku masih kupejam, Aku menghirup aroma bunga tujuh rupa dalam-dalam. Berlahan mataku kubuka, kutangkap sekelumit cahaya senja dari celah dinding bambu. Tubuhku makin menggigil, guyuran demi guyuran diberikan bapak dan ibu bergantian.

Selasa, 18 Agustus 2020

Cermin Priyayi





Warsono mematut dirinya di depan cermin. Seringai kepuasan tersungging dibibirnya. Diusianya yang hampir separuh abad, kegagahan seorang laki-laki masih terpantul dalam cermin itu. Jabatan kepala dinas sebuah kota besar di Jawa tentu bukanlah jabatan sembarangan yang bisa mampir ke semua ASN di negeri ini. “Aku kini seorang priyayi” pongah Warsono  sambil menatap kagum bayangan dirinya pada cermin. Sang cermin takzim menatap Warsono. “Sebuah desa dengan berhektar-hektar sawah bisa kubeli” katanya terkekeh menampakkan gigi siung emasnya. Sang cermin kembali memandang Warsono, kali ini penuh cemooh. Sejenak Warsono mengutuk busuknya kenangan masa lalu. Ketika dia harus menggadaikan harga dirinya untuk sebuah pintu masuk masa depan. “Nuranimu telah mati” bentak cermin muak. Warsono menatap tajam cermin “Nurani hanyalah congek di telingamu, paling banter hanya bikin budeg, bolot” teriak Warsono gusar. “Gedibal penguasa! Kerjamu menjilat, membasuh lubang dubur atasanmu!” teriak Cermin tak kalah keras. Mendadak Warsono terbahak keras “Itu hanya ucapan si sirik. Pengecut tengik impoten penebar bau taik kehidupan” kata Warsono masih dengan terbahak. “Kamu khianati kawanmu!” teriak cermin semakin marah. “Apakah dirimu manusia? lima tahun kamu tiduri perempuan yang jatuh cinta kepadamu, gratis puaskan birahimu, dan dia memilih mati kelaparan bahkan saat hutangmupun belum kamu bayar. Selangkanganlah yang menjadikanmu priyayi!” Warsono tercenung bisu bersama bayangan tubuh markonah menggelantung kaku setelah tiga hari gantung dirinya ditemukan bersama sebuah surat kecil. “Mas Warsono, batas antara cinta dan kebodohan memanglah selenguh nafas”

#Falshfiction

 

Selasa, 04 Agustus 2020

Penjual Es teh dan Pisang Goreng

 


Brak!!! Suara pukulan benda keras mengurai kerumunan yang tadinya bernyanyi penuh semangat dengan dendang lagu-lagu perlawanan. Buk!!! Kembali suara pukulan mendarat di tubuh-tubuh yang berpeluh. Tak lama kemudian raung motor branjangan berlomba dengan pekik panik para demontrans. Motor-motor itu memecah barisan hingga kami kocar-kacir berlarian menyelamatkan diri. Di ujung sisi jalan yang lain, para demonstran berlarian menghindari gas air mata. Aku berlari sekuat yang aku bisa, menuju sisi terdekat yang bisa kujangkau. “Ah, pagar sialan” batinku mengumpat, di depanku pagar besi setinggi dua meter dengan ujung berkawat duri menghentikan pelarianku. Aku tak bisa lagi berlari, pilihanku hanya satu, melompati pagar besi berkawat duri, atau kembali dan berhadapan dengan gebukan, branjangan, atau gas air mata.

Dengan tubuh berpeluh penuh luka terkena goresan duri pagar, aku berhasil masuk menyelamatkan diri ke sebuah rumah sakit di samping jalan tempat kami unjuk rasa. Nafasku memburu, sedikit lega begitu tak kulihat aparat ikut merangsek masuk ke tempat ini. Tiba-tiba seorang bapak menghampiriku, dia menunjuk ke sebuah warung. Tempatnya agak ramai, sepertinya banyak keluarga pasien mangkal di warung si bapak. Aku masuk ke warung itu, kulihat beberapa kawanku sudah berada disitu, menikmati es teh mereka yang tampak begitu menggoda kerongkonganku, mereka duduk terpisah. Agar silap mata melihat, pun aku melakukan hal yang sama. Aku mengambil tempat duduk berbaur dengan keluarga-keluarga pasien, bukan dengan kawan-kawanku.

Tak seberapa lama, es teh pesananku sampai setelah beberapa saat kupesan. Aku menyesapnya dengan rakus, langsung habis. Kemudian, aku mengambil sepotong pisang goreng. Belum sampai genap tiga gigitan, si bapak datang lagi, dengan segelas kecil es teh.

“Bonus” kata beliau.

Aku terkekeh sedikit. “Terima kasih Pak” jawabku sopan

“Sudah, tidak usah sungkan. Adik bapak juga sering ikut demo di daerah Tandes sana” kata beliau sambil menyodoriku pisang goreng lain yang masih panas.

Kulirik sekilas kawan-kawanku satu persatu, mereka memberi kode aman. Aku sedikit lega. Dalam hati aku memuji kebaikan si bapak. Ku ambil kembali sepotong pisang goreng yang disodorkannya. Kami sedikit berbincang, hanya basa basi sekilas tempat kos dan tentang kuliah. Lambat laun suara gedebag gedebug, dan raung motor branjangan juga mulai mereda. Entah berapa kawanku yang selamat atau yang tertangkap kali ini. Kembali kulirik kawanku, mereka satu persatu beranjak meninggalkan warung si bapak. Aturan pertama saat menyelamatkan diri adalah, jangan bergerombol. “Hati-hati di jalan” sayup kudengar suara bapak penjual teh baik hati yang menolong kami. Tanpa sempat melongok, aku berjalan dengan pandangan lurus dengan langkah-langkah kecil dan cepat.

Aku kembali ke kos dengan jalan memutar. Aku menolah ke belakang atau nanar menatap kiri dan kanan dengan resah,  langkah kupercepat. Tiba dijalan besar, aku tak lagi berpikir lyn apa yang harus aku naiki.  Tanpa berpikir panjang, aku naik angkutan sekenanya, turun dan kemudian naik lagi.  Kali ini sesuai arah kos, dan berhasil selamat sampai tempat. Penuh kelegaan aku masuk ke tempat kosku. Segera aku merebahkan diri di ranjang kamar kos dengan tetap memakai kaosku yang lusuh kena debu dan keringat serta sedikit darah goresan duri pagar, tanpa cuci muka atau sekedar membasuh kaki. Mata masih terjaga, peluh belum kering di badan, aku dengar bu kos mengetuk pintu kamar sembari memberitahu ada tamu untukku. Sedikit gusar, aku keluar kamar dan mengumpat dalam hati. Dengan malas aku beranjak ke ruang tamu.

“Kau harus ikut kami untuk kami mintai keterangan terkait aksi demo buruh yang baru saja kamu lakukan di gedung DPRD pagi tadi”.

Seketika lidahku kelu, badanku lumer tak bertenaga. Aku hanya bisa pasrah dibawa ke mobil oleh empat lelaki berbadan tegap tinggi besar dengan rambut cepak dan muka tanpa senyum. Tanpa lagi sempat berpamitan ibu kos, atau sekadar berganti baju. Ah belum juga kunikmati empuknya ranjangku, begitu batinku.

Aku tidak dibawa ke kantor polisi oleh mereka, tetapi dibawa ke sebuah gedung tanpa papan nama, dengan halaman luas dan ditengahnya terdapat tanah lapang yang terdapat tiang bendera berdiri tegak. Bangunan ini adalah sebuah markas militer yang terpisah dari markas besar mereka. Entah dimana letak gedung ini berada, sepanjang perjalanan mataku disekap. Tetapi, dari tidak terlalu lamanya perjalanan, sepertinya masih berada di wilayah Surabaya.  Suara-suara lirih sayup kudengar di luar kendaraan yang kalah oleh hingar musik lagu koplo yang diputar oleh keempat lelaki berambut cepak itu. Bulu kudukku berdiri, desir aneh menelusup pelan keseluruh urat nadiku. Tubuhku sedikit mengejang. Hawa dingin pelan-pelan merambat keseluruh tubuh. Aku sedikit limbung.

Belum lagi kesadaranku pulih dengan benar, aku dibentak suara yang menyuruhku berjalan agak cepat ke sebuah ruangan yang ditunjukkan dengan diikuti oleh lelaki yang membawaku kemari. Tempat itu tidak seperti perkantoran, tetapi lebih mirip bangunan sekolahku ketika SD. Ruang demi ruang berjejer dengan teras panjang membentuk lorong disepanjangnya. Pada beberapa titiknya terdapat ruangan segi empat terbuka dengan satu set sofa duduk beserta sebuah meja. Sekelebat aku melihat bayangan yang tak asing tengah duduk dan tertawa di sebuah ruangan terbuka yang kulewati. Tak acuh kukibas prasangkaku. Aku terus berjalan melewati ruangan-ruangan  yang kudengar jerit kesakitan kawan-kawanku. Badanku terasa ikut ngilu. Semuanya suara kawan-kawanku yang tadi bersembunyi di warung rumah sakit dekat kami demo tadi pagi. Aku menoleh kembali ke bayangan sekelebat tadi, kali ini dia juga tengah melihatku. Deg! “Setaaaannn!!” Teriakku dalam hati. Dia si bapak pemilik warung di rumah sakit yang memberiku bonus segelas kecil es teh dan pisang goreng panas tadi. Dia intel. Asu!!

 

Sidoarjo, 21 Juli 2020


Perempuan Dalam Pasungan

Percikan air tujuh sumur yang bercampur d engan bunga tujuh rupa diguyurkan ke seluruh tubuhku. Dingin yang tiba-tiba menyengat kesadaranku...