Senin, 21 November 2011

Wayang; Falsafah Kehidupan.

Belajar pada falsafah wayang, aku membacai hal-hal tentang wayang. Susah menjadi bijaksana saat  merasa menderita. Aku menggugat semua hal. Lupa tentang karma. Lupa tentang siklus. Lupa pada takdir. Pongah. aku melihat diriku menjadi sedemikian hingga. Aku lupa saat aku berderai air mata kesedihan begini sebenarnya aku menyiapkan senyuman untuk hari esok, hingga aku merasa menjadi orang paling menderita sedunia. Kesadaran membawaku pada pembelajaran. Aku belajar pada banyak hal. Termasuk pada wayang dan falsafahnya.

Mengatasi dendam meredakan amarah. Meyakini apa yang terjadi hari ini adalah buah prilaku kemaren. Susah. Dan membuatku putus asa. Dan pergilah membaca kemudian aku. Wayanglah tujuanku. Aku ingat masa kecilku aku sangat menunggu terusan cerita tentang pandawa dan kurawa sambil mengurut Bapak yang kelelahan ke sawah. aku juga terpikat pada Srikandi maupun Arjuna. Karena itulah Wayang menjadi bacaan yang kutuju. 

Kali ini tentang Gending, lebih tepatnya Gending pembuka yang disebut dengan Gending Talu. Gending Talu merupakan permainan gamelan atau karawitan yang mengawali suatu pagelaran.Rangkaian  gending talu, mempunyai makna filosofis yang sangat dalam. Rangkaian gending talu ini sebenarnya menceritakan peristiwa Jantra kehidupan manusia. Gending Talu dimulai dengan Gending Cucur Bawuk dan diakhiri dengan Sampak Mayura.

Gending Cucur Bawuk yang melambangkan pertemuan sejoli manusia, yang dilanjutkan Pare Anom, yang melambangkan dimulainya kehidupan muda manusia; kemudian disambut Ladrang Srikaton yang mewakili kehidupan cemerlang masa muda manusia; lalu berpindah menjadi Ketawang sukma Ilang, saat manusia dewasa telah menjadi renta. Dan saat semuanya hendak berakhir, Ayak-ayak Talu digemakan; melambangkan proses penyesalan manusia saat nyawanya hengkang menghadap Sang Murbeng Jagad Raya lalu datanglah Sang Kala menjemput diiringi Srepegan Mayuna yang serba terburu-buru. Dan bersama dengan gema  Sampak Mayura yang menyentak dan Melonjak seketika; berakhirlah seluruh kehidupan manusia di alam janaloka. Gending-gending yang dirangkai menjadi satu kesatuan itu, semuanya menceritakan filosofi kehidupan ritual manusia.

Ini merupakan rangkaian gending yang bersifat sacral, dan juga merupakan salah satu rangkaian gending yang bersifat ritual; yang dalam waktu relative singkat menceritakan seluruh proses kehidupan manusia, sejak dilahirkan sampai mati. Sejak dari tiada kembali menjadi tiada. Menyadarkan manusia yang masih hidup, bahwa ia tak lebih dari setitik debu tanpa arti dihadapan Sang Murbeng Jagat Raya.

Setelah membaca wayang, apakah aku bisa mengatasi keresahanku? Masih saja belum. Tapi aku akan terus membacanya dan menuliskannya kembali. Aku akan belajar. Memetik hikmah atas apa yang terjadi hari ini agar esokku lebih cerah. Begitu juga anda sekalian yang kebetulan membaca tulisan ini. Mari berbahagia.

Rabu, 16 November 2011

Salah Kedaden.

Pada hakekatnya, kau tidak dapat membunuh atau membiarkan orang terbunuh. Kau juga tidak dapat mencegahnya. Kematian adalah keniscayaan. Cara seseorang menemui ajalnya ditentukan oleh perbuatannya sendiri. bertindaklah sesuai dengan hukum alam. Berkaryalah sesuai tuntutan tugas dan kewajibanmu sebagai seorang satria. Berkaryalah sesuai dengan peranmu diatas panggung dunia.(Narada Bhakti Sutra,  Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001)
                                        ***


Awalnya memang karena keresahan. Aku mendapati diriku yang tak terkendali. Ini akibat patah hati. Uft, sakitnya bukan kepalang. Saking sakitnya, sampai terkadang airmataku tak bisa lagi keluar. Perih. Merintih dalam diam. Lalu aku tak mau meratap. Aku melakukan banyak hal. Hanya agar tidak diam, termasuk membaca. Aku bacai banyak hal. Semua hal kecuali cinta katresnan. Salah satunya tentang wayang. Maunya aku, belajar dari pengalaman. Kisah  Lesmana ini walau berserakan perempuan disana-sini. Namun tak membuatku menjadi bersedih. Justru aku terbahak, karena cara bertuturnya yang terkadang seperti saat aku lagi nggosip sama teman karibku. Penasaran, ini aku copast cerita lengkap versi bahasa Jawanya.

Ya, aku terbahak membacanya. Aku suka gaya ceritanya. Dan aku suka keseluruhan ceritanya. Yang jelas. saat membaca ini aku bisa tertawa lepas. Karena ceritanya. Karena cara bertuturnya. Dan karena keseluruhannya. Kisah ini bertutur tentang Sulungnya Duryudana dengan Banowati, Lesmana Mandrakumara. Cara bertutur yang tak biasa menjadi daya tarik pertamaku untuk membaca kisah ini. Biasanya tidak telaten aku jika membaca cerita dalam bahasa Jawa. Banyak kosakata yang aku tidak memahaminya, walau aku asli Jawa, lahir besar juga di Jawa. Oncat saka tradisi kata orang makanya sekarang mau balik :))




Jumat, 11 November 2011

Rahuvana Tattwa

“Aku menangis bukan karena kesakitan terkena panah saktimu wahai Rama, jika aku ditakdirkan mati maka memang itulah jalanku untuk kembali, namun aku menangis karena engkau sebagai ksatriya telah melakukan tindakan yang jauh dari sifat ksatriya. Bahkan sangat menjijikkan.”

Cuplikan dialog ini sungguh menarik. Selama ini aku memahami tokoh Rama adalah tokoh yang bijaksana tak bercela selain hal yang sedikit egois saat sang Rama tak bisa mempercayai kesetiaan Shinta walaupun telah bersumpah dengan cara membakar diri dalam versi cerita Shinta Obong. Dan di buku ini aku menemukan hal menarik ini. Lebih logis menurutku. Maksudku, akal dan pikirku lebih bisa menerima versi ini daripada yang sering aku baca selama ini.
 

Membaca buku ini beberapa waktu yang lalu tak membuatku merasa bosan. Cara pengarangnya, Agus Sunyoto meramu cerita ini layaknya novel tertata apik dan memikat.Kabarnya pada Rahuvana Tattwa ini ada  puluhan referensi yang digunakan. Jadi walaupun berbentuk novel namun seakan-akan nyata, bahkan seperti jurnal yang berbentuk novel, saking validnya. Dan karena inipulalah mataku tak pernah merasa lelah mengikuti larik demi larik kalimatnya.


Selain cara bertututrnya yang memikat, ide dan isi buku ini membuatku terkagum-kagum akan analisa pengarangnya.Jadi kalau pada versi aslinya, Valmiki menggambarkan betapa kejamnya si Ravana (setelah menjadi raja ia bergelar Rahuvana), betapa biadabnya bangsa raksasha, dan Rama digambarkan sebagai ksatriya keturunan Dewa, atau bagaimana si Hanuman kera sakti ksatriya pembantu Sri Rama yang gagah berani tanpa tandingan. Namun pada versi ini keadaan itu benar-benar dibalik 180 derajat. Diceritakan bahwa si Ravana adalah keturunan bangsa yang lebih beradab, daripada keturunan Indra Raja para Dewa. Sungguh apik penggambarannya dan mengalir seakan kita dipaksa untuk tidak bisa protes dengan pendapatnya tersebut, bahkan asyik-asyik saja membaca novel dengan sudut pandang terbalik.

Mengasyikkan, alurnya bisa aku terima secara naluriku. Dan aku seakan dibawa pada kedalaman hati dan gejolak Rahuvana, sang raksasha. Bagaimana aku ditunjukkan untuk tidak menilai orang hanya dari fisik semata, tetapi lebih pada kearifan dan cara bersikap pada sesama.Selesai, dan aku mulai mengantuk.

Perempuan Dalam Pasungan

Percikan air tujuh sumur yang bercampur d engan bunga tujuh rupa diguyurkan ke seluruh tubuhku. Dingin yang tiba-tiba menyengat kesadaranku...