Rabu, 12 Oktober 2016

Pantai Serang Blitar


Perjalanan saya kali ini dengan Tim Monev kantor tempat saya bekerja. Kali ini, kami memilih Pantai Serang di sela waktu bekerja kami. Ini bagian enak bekerja dengan model pekerjaan saya, bisa jalan-jalan, bagihan tidak enaknya, kadang kami harus bekerja di saat orang liburan atau saat weekend bahkan tak jarang kami masih bekerja saat kebanyakan orang sudah bergurau dengan mimpinya. Tetapi begitulah, kami hanya mencoba memanfaatkan waktu dengan baik, bekerja dapat dan otak juga rileks. Menyenangkan. 

Pantai Serang ini tidak jauh dari kota Blitar, hanya sekitar 1,5 jam perjalanan atau kurang lebih 35 km dari pusat kota. Kami mengambil rute melewati Sutojayan, karena kebetulan kegiatan kami sedang berada di kecamatan tersebut. Pantai ini terletak di desa Serang Kecamatan Panggungrejo, sebelah timur selatan kecamatan Sutojayan, masih pada wilayah Blitar Selatan. Jalan menuju pantai relatif mudah dan cukup lebar dan lengang, apalagi jika dibandingkan rute jalan ke pantai-pantai lain yang ada di Blitar Selatan semacam Pantai Pangi atau Pantai Tambakrejo. Bahkan kami sempat berhenti dan berselfie bersama saat perjalanan, karena tidak tahan terhadap hijaunya pemandangan kiri kanan jalan.
Pinggir jalan perjalanan menuju Pantai Serang
Pantai Serang ini terkenal dengan ombaknya yang juga menjadi ciri khas pantai-pantai daerah selatan. Pantainya tergolong bersih dimana pada satu bagian seperti berbatas hijaunya perbukitan dengan cadas karang yang kokoh, sedang pada sisi lain berbatas karang menjulang dan karang yang membentuk deret dinding yang melengkapi gambaran dinginnya pantai. 


Rute yang cukup mudah, dan tidak terlalu jauh dari pusat kota, menurut saya memberi nilai lebih dan membuat pantai ini layak untuk dikunjungi. Tempatnya cukup tenang dan bersih. Jika ingin merenung atau menunggu matahari terbenam cukup recommended. Apalagi yang gemar memotret atau di potret, tempat ini bagaikan surga. Foto-foto yang saya pasang di blog ini, hanya kami ambil dari foto HP masing-masing dan tanpa edit. Dan hasilnya, inilah surga. 





Selasa, 11 Oktober 2016

Gua Umbul Tuk Blitar



Gua Umbul Tuk terletak di Desa Tumpak Kepuh Kecamata Bakung Kabupate Blitar. Berada di wilayah Blitar Selatan degan perjalanan kurag lebih 1 jam dari pusat kota Blitar. Akses jalan bisa dibilang lumayan mudah walaupun memang medannya cukup curam dan berkelok serta jalanan yang sempit. Meurut saya, setelah agak meahan nafas, cukup terbayar ketika kemudia saya bersama kawan-kawan memasuki Gua ini.

Siang itu kebetulan kegiatan kantor bisa selesai saat dhuhur, demi melepas penat setelah berhari-hari maraton berkegiatan salah satu teman kami tiba-tiba bertanya tentag gua Umbul Tuk. Saya yang kebetulan satu-satunya yang besar kecil di Blitar pun meawarinya berkujung kesana. Walaupun sebenarya sayapun baru sekali kesana, itupun ketika saya masih SMA bersama dengan guru IPS saat mempelajari tetang stalaktit dan stalakmit

Sesampai disana kami ditawari menggunakan pemandu dengan hanya bertarif Rp. 50.000,- saja. Murah, karena kami hanya dibekali lampu senter kecil satu yang dibawa oleh pemadu, tanpa helm, dan pengaman standart lain untuk jenis goa semacam umbul Tuk. Tetapi karena peasaran, saya dan kawan-kawan akhirnya tetap masuk walau tanpa pengaman apapun.

Gua ini terletak lebih rendah dari tanah tempat kami memarkir kendaraan, dengan melintas semacam kolam kecil dengan tinggi selutut orang dewasa. Begitu masuk ke mulut gua, air sedikit lebih rendah dari pada air yang berada di luar gua, semakin kami masuk berlahan sinar matahari semakin hilang, dan gua semakin gelap dan mencekam.

Sebenarnya jika saja saya tidak diingatkan tetang bagaimana sejarah Goa ini, mungkin kesan kelam mecekam itu tidak sempat hinggap dalam pikirannya saya. Ya, begitulah, saya medengar Goa ini dahulu digunakan sebagai tempat persembunyian aktivis dari kejaran pemeritah masa 66-68 yang menggunakan peristiwa 30 September untuk menumpas orang-orang yang diaggap kiri. 

Begitulah, pemandu kami begitu lihai memilihkan kami rute sehigga kami berada dijalan yang tepat, pada ketinggian air yang masih dalam batas aman untuk orang yang tidak bisa bereang. Namun dalam hati saya sempat juga mengumpat, karena tidak ada pelampung atau rompi safety. Jika memang pemeritah daerah setempat berniat mengembangkan Goa ini menjadi tempat wisata, tentu saja keamanan pengunjung harus diutamakan lebih dahulu 

Seperti yang saya ingat, salah satu daya tarik Gua ini adalah stalaktit dan Stalakmitnya. Stalakmit merupakan kerucut karang kapur yang muncul dari bawah. Stalakmit merupakan pasangan dari stalakmit yang tumbuh di lantai goa karena hasil tetesan air dari atas langit-langit gua. Pada beberapa bagian, kami harus berjalan dengan merunduk dengan tinggi air seperut orang dewasa dengan stalaktit yang rendah dan hampir tersetuh kepala. Dibeberapa titik terdapat stalaktit stalakmit yang diberi nama seperti nama kota, kami menyempatkan berfoto walau dengan kamera ala kadarnya dan dengan posisi yang entah bagaimana. Pada ujung yang kami tuju, terdapat lambai stalaktit yang meyerupai helai rambut dan ketika kami mencoba membuyikannya terdegar bunyi nyaring sehigga bagian ini disebut batu gong. Namun memang harus hati-hati sebelum sampai pada batu gong ini, selain air yang semakin tinggi, ada bagian jalan yang kami harus berpegangan pada tali yang diletakkan pada salah satu dinding gua yang dibuat mejadi semacam anak tangga. Sampai pada titik ini, kawan saya sudah terlihat pucat, karena insiden hampir tenggelam, termasuk saya..hihi dan memaksa untuk segera kembali. Jika dari mulut gua hingga batu gong ini, kurang lebih berjarak 2 km dengan waktu tempuh sekitar 2,5-3 jam untuk pulang pergi (jika saya tidak salah ingat). Ini memang bukan ujung goa, kata pemandu kami, butuh 12 jam sampai ujung dan harus menggunakan alat bantu. Saran saya, tinggalkan sepatu atau sandal saat masuk goa ini. Airnya cukup jernih dan menyegarkan, hanya bau khas gua berupa kotoran kelelawar yang terkadang meambah drama eksotis gelap keidahan goa. Penasaran? datang berkunjunglah. 
















Kamis, 06 Oktober 2016

Kanjeng Dimas Taat Pribadi menurut saya



Penggandaan Uang, bukan hanya kali ini saya dengar. Model tanam-tanam saham saham dengan bidang usaha yang tidak jelas barangnya kemudian iming-iming hasil lebih dari 30% perbulan atau semacamnya juga kerap saya dengar. Saya hanya berfikir, logika darimana hingga kemudian mereka mempercayainya dan terhanyut yang ujung-ujungnya mereka akan kehilangan banyak harta mereka, bahkan ada diantara mereka yang sampai menanggung hutang yang tidak sedikit.

Dan kini, kasus Kanjeng Dimas Taat Pribadi, saya dikejutkan oleh nama yang muncul. Bukan hanya jumlah pengikutnya, namun juga karena munculnya nama tokoh politik/publik. Ah, ada apa dengan negeriku, begitu saya bergumam.

Saya ingat percakapan saya dengan seorang kawan di warung kopi. Saya mengatakan bahwa orang yang sudah putus asa memiliki kecenderungan berbuat irrasional. Dan saya sepenuhnya sepakat pula dengan ucapan KH Achmad Hasyim Muzadi dalam sebuah acara televisi yang kurang lebih mengatakan bahwa masyarakat kita sedang sakit, yanag masarakat bawah pingin uang, yang masayarakat tengah mulai kehabisan uang, yang masyarakat atas sudah sangat serakah dimana pada kondisi tersebut irrasionalitas akan banyak terjadi.

Kemudian kenapa tokoh publik yang secara pendidikan dan pengalaman politik bisa masuk dalam lingkaran Kanjeng Dimas Taat Pribadi? Saya melihat hal ini juga karena tidak sehatnya suhu politik dan alam demokrasi. Politik uang masih menjadi penguasa, semenatara rakyat semakin putus asa dan apatis, sehingga tidak lagi mempercayai figur tokoh politik dan sistem. Uang menjadi dewa dalam segala lini kehidupan, sehingga kemudian krisis kepercayaan dalam politik mendorong orang berbuat irasional. 

Pendekatan agama sering pula digunakan beberapa orang untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga muncul aliran-aliran sesat dengan bungkus agama. Kultus terhadap tokoh agama masih menjadi pesona tersendiri bagi orang-orang yang memiliki masalah dan merasa tidak memiliki jalan keluar. Kondisi ini mungkin juga yang mengilhami Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Setidaknya dia tahu bahwa rakyat masih sangat terpikat dengan gelar-gelar kebangsawanan dan keagamaan (atau dia hanya coba-coba ya, trial and error, entahlah)

Tidak ada jalan kemakmuran tanpa kemandirian dan kerja keras. Tidak ada kemandirian tanpa kemerdekaan. Yakinlah, segala yang kamu terima adalah buah dari usaha yang keras dan kemandirian. Berbaiklah dengan alam, karena dia tidak pernah khianat dan dialah kesetiaan itu ada. Gejala tanda akan selalu dia kirimkan jika kamu, manusia, menjadi terlalu serakah. Tidak perlu takut memperjuangkan kemerdekaan, karenanya kemandirian akan kamu peroleh. Sehatkanlah jiwamu, dengan sakit segala ilmu dan kepandaianmu tidak akan banyak guna dan manfaatnya. Damailah dengan sesamamu, karena tanpa kecurangan kebaikan akan senantiasa berada mengelilingimu. Berkaca pada kasus ini, janganlah menjadi pemalas, dan tetaplah bersikap rasional, sehatkan jiwamu, dan pertebal kecintaanmu pada penciptamu, alammu, dan sesamamu.

Selasa, 04 Oktober 2016

Gili Labak Sumenep

Tanpa rencana saya akhirnya bisa mengunjungi Gili Labak. Tanpa banyak persiapan, tapi lumayan menyenangkan. Kami berangkat dari Sumenep melalui Kalianget pagi hari, agak kesiangan dari yang kami rencanakan semalam. Jika memiliki waktu lebih panjang, menginap di Gili Labak dengan tawaran sunset dan sunrise sangat menggoda. Kami menyewa kapal kecil dengan tarif @Rp.75.000,- sudah termasuk alat snorkeling. Sangat murah, sudah termasuk tarif kembali.

Seperti piknik keluarga, ada banyak makanan dibawa, dan rasanya pilihan yang tepat :D
Setelah 1,5-2 jam penyeberangan kami sampai di Gili Labak. Tampak dari kejauhan hamparan pasir putihnya begitu memikat, kontras dengan birunya jernih laut. Dengan pengunjung yang tidak terlalu ramai, saya langsung jatuh cinta pada tempat ini.
Begitu melihat ekositisnya Gili Labak, rasanya hilang sudah peningnya terombang-ambing perahu kecil dengan bau solarnya yang bikin mual. Untunglah pula saya kategori bisa tidur dimanapun dalam kondisi apapun, jadi goncangan kapal kecil yang kami pakai tak membuat saya mabuk laut, dan loyo.
Begitulah, begitu turun dari perahu, saya langsung menyesal karena tidak membawa baju ganti yang memadahi. Sebenarnya ada juga penjual celana pendek jika ingin tetap berenang, namun karena saya tidak bisa berenang dan saya gagal merayu teman saya agar bersedia membawa saya berenang maupun snorkeling alhasil saya hanya berjalan mengitari pulau dan tentu saja berfoto.

Teman saya bersuka denan anaknya

Selain pasir putihnya, biru nya laut dan juga kebersihan tempatnya memang membawa pesona sendiri. Hembusan angin yang menyapa dengan hangat menambah kenyamanan berada disini. Eh tapi walau hangat, jangan lupa pake sunblock biar aman saat berenang maupun berjalan atau berjemur?









Gili Labak, lain waktu saya akan kembali, dengan anak-anak saya dan tentu saja, harus snorkeling.

Awkarin dalam pikiran saya.





Awkarin. Saya sebenarnya tidak terlalu update tentang ini. Hanya saja, awkarin menjadi bahasan saya dan teman saya, kemudian saya pun tergelitik menulisnya, untuk suatu saat saya baca kembali.

Dengan sekelebat saya membaca beberapa artikel tentang Awkarin, kemudian dengan hanya sekilas juga saya membuka akun IG nya yang menurut saya sekilas tidak ada yang salah. Bahwa ada yang sedikit berbeda dari postingan yang Awkarin lakukan, saya sepakat, tidak lebih. Awkarin memang terlihat lebih berani menampilkan apa adanya dirinya. Dia memperlihatkan ‘style’ nya, cara bergaulnya, dan bagaimana dia mengatasi masalah emosinya (atau memperlihatkan emosinya?) dan jika kita mau jujur, bukankah diantara kita juga banyak yang melakukan hal serupa di media sosial? Kemudian apa bedanya dengan Awkarin? Saya tidak sedang menjadi pendukung Awkarin, atau penghujatnya. Tulisan saya ini saya buat bukan untuk  menghakimi siapapun. Setidaknya ada pelajaran yang dapat kita petik untuk anak-anak. Atau mengingatkan pada saya, betapa terkadang saya juga ingin berpose seperti Awkarin ..hihi (#Ups). Pada beberapa pihak yang rasa-rasa gak enak, sorry to say ..ini hanya kicauan saya tanpa mengandung muatan keuntungan material. Dan Maaf, jika saya juga tidak mengambil salah satu foto Awkarin dan mengunggahnya dalam blog saya, bukan apa, hanya ingin bilang, saya juga narsis ..hahaa

Perempuan Dalam Pasungan

Percikan air tujuh sumur yang bercampur d engan bunga tujuh rupa diguyurkan ke seluruh tubuhku. Dingin yang tiba-tiba menyengat kesadaranku...