Dengan tubuh basah kuyub, aku dituntun ke dalam rumah. Kakiku masih lemah, seperti enggan menopang berat badanku. Bayangan tubuhku kutangkap dalam pantulan cermin besar pada salah satu dinding kamarku. Kutatap cermin lekat-lekat, aku seperti melihat bayangan orang lain dalam pantulannya. Perempuan kurus dengan rambut teruarai penuh air.
“Menyedihkan sekali,” kataku
tanpaku sengaja.
“Siapa?” Tanya Ibu yang
tengah mengeringkan tubuhku.
“Perempuan dalam cermin
itu.”
Sekilas kutangkap raut
kesedihan ibu melalui cermin. Tidak ada sepatah kata lagi keluar dari mulutnya
yang telah penuh oleh kerut. Perlahan kutangkap isak yang coba disembunyikannya.
Ibu memegangi pundakku, tepat pada tulang yang tampak menonjol pada sisi kanan
dan kiri ku. Matanya menatap mataku melalui cermin.
“Ibu, kemana semua
lukisanku?” Tiba-tiba aku menyadari semua dinding kamarku kosong.
“Stt.. Diamlah!” Jawab
ibu penuh cemas
“Ada apa dengan
lukisan-lukisanku?” Tanyaku tak mengerti.
Tangis ibu pecah.
Suaranya demikian memillukanku. Dipeluknya aku erat.
“Jangan lagi membahas
lukisanmu ya nduk.”
“Lukisan itu tidak
bersalah Bu, kenapa harus dihancurkan? Merekalah yang selama ini membuatku
tetap hidup”.
“Pikiranmu nduk
yang membuat bapakmu murka. Lukisan perempuan tanpa baju membuat bapakmu jijik.
Kenapa kamu mengumbar tubuhmu sendiri nduk?”
Kata Ibu penuh keprihatinan.
Aku melihat wajah ibu
kini telah dibanjiri air mata.
“Apakah dosa melukis
kebenaran Bu? Lukisanku bukan mengumbar tubuhku secara erotis, ada kain tipis
menyilang yang menutupi payudara dan kelaminnya, tetapi begitulah orang-orang
memandang tubuhku dan tubuh perempuan-perempuan kebanyakan, semua dikaitkan
dengan erotisme, selangkangan, dan birahi.”
“Hust..Pokoknya bapakmu
ndak suka. Tabu katanya, apalagi kamu
juga merantai kaki, tangan, leher, dan tubuh perempuan dalam lukisanmu, belum
lagi gambar laki-laki memegang rantai dengan lidah menjulur ke tubuh perempuan
itu. Bapakmu benar-benar murka. Sudahlah jangan lagi kamu bahas lukisanmu!”
Kata ibu setengah menjerit
“Apakah aku masih boleh
melukis lagi Bu?” Tanyaku penuh harap.
“Oalah nduk jangan membuat jangtung ibumu ini
copot. Kalau hanya murka bapakmu yang kamu dapat, Ibu masih bisa tahan, tapi
Ibu bisa mati berdiri kalau bapakmu memasungmu kembali. Nurutono bapakmu, manut, diamlah.”
Jawab ibu dengan sengal makin menjadi.
Aku tercenung,
kupandangi ibuku lekat-lekat. Pada wajah tua itu masih kutangkap sisa lebam
dibawah sudut matanya. Pada leher bawah telinga dan lengannya, bilur keunguan
mengotori kulit cerahnya. Ada sesak aneh menyelimutiku, mendorong ingin keluar.
***
Senja berganti malam
yang berangsur menyenandungkan sepi nan memilu, ketukan halus pada jendela kamar
serta merta memporakporandakan keheningan yang nyaris bisu. Aku membuka jendela
kamar, dari kegelapan menyeruak wajah sahabatku tertawa riang
“Selamat datang kembali
pada peraduan Tuan Putri.” Katanya sambil mengedipkan genit matanya.
“Ah ini sih penjara!”
Kataku bersungut sambil menghempaskan diri di atas kasur empuk berkain linen
lembut dengan bau harum segar kesukaanku.
“Tapi kakimu masih bisa
berjalan kesana kemari, kamu juga bebas melompat, menendang, Bagaimana, apa
yang ingin kamu lakukan dengan kebebasanmu?” Tanyanya lagi
“Aku ingin
mengunjungimu, di atas pohon besar kita mentertawakan semut yang selalu
mengganggu kita. Kemudian kembali melukis. Eh bagaimana kabar rumah mu?”
Tanyaku
“Besok kamu lihatlah.
Sepertinya bapakmu berusaha keras merobohkannya, beberapa orang
datang dan mencoba memotongnya, tapi sejauh ini masih bisa kuhalangi.
Sudahlah, kamu pikirkan saja apa yang ingin kamu lakukan.” Katanya sambil
berjalan mendekatiku, kemudian dia berbaring di sisi ku.
Kami kemudian saling
bercerita. Aku demikian senang dia selalu mendengarkanku. Sahabat kecilku, yang
disebut orang sebagai hantu trembesi, selalu membuka telinganya untuk suaraku yang
terbungkam.
***
Semilir angin malam
merasuk kulitku dengan paksa. Aku meraih jaket tebal, melindungi tubuhku dari
dingin yang menusuk. Suara angin terdengar saling berkejaran mengusik sunyi.
Aku betah duduk di teras, sambil memejamkan mata, dan membiarkan angin melewati
wajahku tanpa permisi. Mengacak rambutku hingga tampak kusut. Suara derit kursi
disebelahku membuyarkan ritmis malam dan angin yang menentramkan. Ku lihat
bapak duduk dengan rokok lintingnya yang masih baru menyala.
“Besok keluarga Pak
Prasojo akan datang berkunjung,” kata bapak membuka pembicaraan.
Aku melihatnya sekilas
tanpa menjawab.
“Berdandanlah yang
pantas, gelung rambutmu biar rapi, anak gadis nggak pantes rambut dibiarkan terurai begitu.” Lanjut Bapak lagi.
“Kenapa aku harus
berdandan?” Tanyaku
“Keluarga Prasojo
kemari bukan sekedar berkunjung atau main-main. Mereka ingin melihatmu untuk
anak laki-laki bungsunya. Rapikanlah dirimu besok, hidangkan makanan untuk
mereka.” Kata Bapak dengan nada tak terbantahkan seperti biasa
“Bukankah anak bungsu
Pak Prasojo terkenal arogan, suka berkelahi, sok jagoan dan suka main perempuan
Pak?” Tanyaku
“Halah, laki-laki itu
memang harus begitu, baru kelihatan gagah, lawong
belum kawin. Rapopo. Dia yang akan
melindungimu kelak. Kamu mestinya bersyukur, masih ada keluarga baik-baik yang
akan melamarmu. Meskipun kamu tergolong ora
elek, tapi tetangga disini semua tahu, kamu pernah dipasung, perempuan
gila. Bapak sudah menyumpal mulut-mulut mereka” Dihisapnya rokok lintingnya
dalam-dalam. “Sudah, besok, jangan mengacau, tugasmu hanya keluar dengan rapi, macak sing ayu, suguhkan makanan dengan
lembut, beri mereka sedikit senyuman, sudah. Selesai. Selanjutnya Bapak dan
keluarga Pak Prasojo yang akan berunding”
“Tapi Pak…” Belum
selesai kalimatku, Bapak sudah menyahut dengan nada tinggi.
“Ora usah mbantah!! Kamu mau bilang akan
jadi pelukis? Pergi kesana kemari seperti gelandangan dengan baju compang
camping, tidur di sembarang tempat dengan bau cat dimana-mana? Ngomong dengan lukisan, dengan pohon
juga batu? memang gila! Mau jadi apa sebenarnya kamu? Hidup itu hanya perlu
uang, perlu nama besar, semua ada dalam keluarga Pak Prasojo. Dengan lukisanmu,
bagaimana kamu akan hidup? Perempuan itu cukup punya suami, syukur-syukur
mapan, kamu tinggal merawatnya, melahirkan anak-anaknya, selesai.” Hardik
Bapak.
“Tapi Pak..”
Kembali kalimatku menggantung di udara. Bapak memandangku dengan tajam.
“Apakah kamu
tidak merenung saat kupasung kemarin? Semua orang bilang kamu gila, berkeliaran
kesana kemari, ngoceh apa juga gak jelas. Otakmu itu terlalu liar. Kalau kamu
macam-macam, kupasung lagi biar kamu bisa merenung. Sesekali nurut kenapa, Jadi
anak jangan hanya bisa memberontak!” Muka Bapak merah padam.
“Sekarang masuk
ke kamar mu. Besok malam, berdandanlah untuk keluarga Pak Prasojo.Terlalu lama
di teras bisa membuatmu jadi perempuan gila beneran.”
Dengan langkah
berat, aku berjalan ke kamarku. Sekilas dari pintu yang sedikit terbuka kulihat
ibuku tidur tengkurap. Di bawah kakinya, masih berserakan pecahan gelas minum.
Aku menghambur ke tempat nya
“Turuti maunya
Bapakmu. Itu yang akan menyelamatkanmu”. Ucap Ibu lemah.
***
Matahari sedang
melelehkan ubun-ubun saat aku naik pada batang pohon trembesi belakang rumah.
Kupilih dahan paling besar dan kemudian kurebahkan badanku disana. Semilir angin
mengacak helai-helai rambutku. Sebuah suara yang tidak asing tiba-tiba datang
“Bicaralah.” Suara itu
seperti perintah tetapi terdengar begitu menyenangkan.
Aku terdiam. Aku belum
menyiapkan suaraku. Terlalu lama mulutku dibungkam. Sebagai gantinya, suara
tangisanku yang aku berikan untuknya.
“Menangislah.” Suara
itu kembali membelai telingaku.
Tubuhnya dibaringkan
pada dahan diatasku. Pandanganku terhalang air mata. Aku menyekanya dengan
kasar. Dia tersenyum. Telingaku terusik kembali oleh gemerisik daun yang tengah
bercengkrama bersama angin.
“Bicaralah.” Kembali
suara itu ku dengar dari mulutnya yang mungil.
“Kenapa hanya kamu
satu-satunya yang selalu mendengarkanku?” Meminjam suara angin kekuatan
suarakupun keluar.
“Karena aku kawanmu.”
Jawabnya
“Tubuhku ini telah
disiram dengan air yang berasal dari tujuh mata air. Wayang juga telah digelar
semalaman. Tetapi mengapa sekarang aku harus mempercayakan jodoh dan hidupku
pada hitungan wuku neton dan tangan Bapakku? Kenapa aku harus tunduk pada arah
mata angin? Mereka menghancurkan peralatan melukisku, bahkan semua lukisanku
dibakar. Katanya aku pemuja setan. Kenapa bahkan mereka tidak pernah memintaku
berbicara seperti yang selalu kamu lakukan? Ibuku tidak membelaku, jangankan
membelaku, membela dirinya sendiripun, tak mampu dia lakukan.” Kataku dengan
cepat, seperti takut ada yang akan menghentikanku berbicara.
“Mungkin lidahmu tidak
terlihat oleh mereka.” Katanya sambil menjulurkan lidah panjangnya hingga
menjangkauku.
“Apakah jika aku
bersamamu, kamu akan selalu membiarkan aku berbicara?” Tanyaku
“Tentu saja. Mari kita
buat lidahmu terlihat oleh mereka.”
***
Aku melayang dalam
pendar warna yang begitu indah. Seiring dengan hawa dingin yang aneh, kulihat
tubuhku menggantung pada dahan pohon trembesi. Lidahku tidak lagi bersembunyi
dalam lubang mulut yang selalu dibungkam. Bersama suaraku yang terus menggema,
aku tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar