Buku karya Remy Sylado yang di terbitkan oleh Kompas Media
Nusantara tahun 2014 ini sebenarnya sudah cukup lama saya beli. Belum sempat
saya selesai membacanya, buku ini sudah dipinjam seorang kawan, dan baru
beberapa waktu yang lalu kembali. Remy Sylado, adalah salah seorang pengarang favorit
saya. Saya menyukai gaya Bahasa ringan dengan selalu menyertakan Belanda dan
Jawa menjadi bagian besar setting kejadian, tema cerita, atau bahkan
keseluruhan cerita atau menjadi beberapa tokoh cerita. Buku setebal 542 halaman ini terdiri dari
banyak Bab yang masing-masing Bab hanya berisi 3-4 halaman bahkan ada beberapa
bab yang hanya berisi selembar halaman. Bisa jadi, ini bukan bab dalam artian
seperti bab dalam buku-buku pada umumnya. Bisa jadi, yang saya sebut bab ini
hanya highlight pengarang tanpa meninggalkan kesan runtut sebuah cerita, dan
selanjutnya saya tetap menyebutnya sebagai bab.
Satu lagi yang saya sukai dari buku ini adalah pada bagian akhir bab
disertakan quotes yang menarik,
beberapa diantaranya saya pergunakan sebagai status facebook maupun caption IG
saya. Seperti misalnya, Jelaga paling jelaga barangkali bukan di mata tapi di
mulut (hal. 254) Pada bab Prabu Dewa Srani. Prabu Dewa Srani ini merupakan anak
Bathari Durga dalam dunia pewayangan. Prabu Dewa Srani mempunyai sifat dan
perwatakan serakah, bengis, kejam dan suka membuat usil dan mau benarnya
sendiri, mungkin karena itulah Remy Sylado
menggunakannya untuk judul bab ini. Pada bab ini memang diceritakan bagaimana
Ibu tokoh utama, Toemirah, saat hamil lima bulan, dimana ayah tokoh utama Jehezkiel
atau Jez Malikul sedang menjadi serdadu Belanda pada perang Aceh. Toemirah yang
sedang hamil masih tetap diinginkan oleh Soembino, seorang juragan yang sudah
memiliki tujuh istri, dan seorang yang jika memiliki keinginan tidak segan
untuk menculik, membunuh, atau membakar. Soembino disini oleh Remy Sylado
menjadi perwujudan tokoh Prabu Dewa Srani. Pada bab-bab lain dan hampir seluruh bab dalam
buku ini merupakan kisah bagaimana Soembiono berperilaku anarkhis, menyuap
pejabat, mencoba memperkosa Toemirah, menghasut, membayar preman, dan membabi
buta melaksanakan aksi balas dendam terhadap Toemirah yang telah menolak cinta
nya.
Buku
ini merupakan cerita Ny. Jezmira Van Versege yang sedang mencari riwayat nenek
buyutnya. Jezmira tinggal di Belanda, dimana nenek buyutnya adalah orang
Indonesia yang tinggal di lereng Tidar, Magelang. Dari sinilah cerita ini
bergulir. Bab per bab menceritakan bagaimana sosok Jezmira lahir. Ibu ayah Ibu
Jezmira adalah orang Indonesia asli yang kemudian memilih tinggal di Belanda.
Ibu Jezmira, Toemirah digambarkan sebagai sosok jelita pegunungan.Ayah
Jezmirah, Jehezkiel, orang Minahasa yang menjadi serdadu dan dikirim dalam
Perang Aceh. Diceritakan bagaimana kejelitaan Toemirah hingga bertemu Jez
Maliku, dan jatuh cinta pada pandangan pertama, juga tentang perkawinan,
lahirnya jezmira, juga bagaimana tercerai berainya Toemirah dan Jez Maliku.
Seperti novel-novel
Remy Sylado yang lain, penggambaran sejarah begitu kuat dalam novel ini. novel
ini dilatar belakangi penggambaran masa
jaman penjajahan Belanda. Remy sylado begitu detail memberi gambaran tentang
kehidupan masyarakat pada masa tersebut, juga bagaimana prilaku polisi yang
dalam buku ini disebut dengan hamba wet atau
opas. Pada beberapa bagian Remy
Sylado menyertakan sumber penggunaan istilah seperti dalam bab Karena kita
Miskin. Dalam menulis novel, Remy
mengandalkan riset. Untuk menulis novel berlatar belakang penjajahan Belanda, Parijs Van Java (saya akan menuliskan
resensinya secara terpisah lain waktu) misalnya, ia mengadakan penelitian
khusus di Utrecht, Belanda.
Dalam bab Perkara Bisa Diatur
dituturkan bagaimana Soembiono berkeinginan menghancurkan Toemirah dengan
memanfaatkan Agen polisi Wage. Dendam Soembiono menebar kebencian dengan
mengumbar kekerasan dan malapetaka bagi hidup Toemirah. Soembiono menganggap
uang dapat membeli apapun dan siapapun. Soembiono pun menyusun rencana culasnya dan
membayar agen polisi Wage untuk melaksanakan rencana-rencana balas dendamnya
Pada akhir bab ini ditulis, keyakinan yang tahan kritik barangkali mesti
dibangun dari kesalahan langkah, sebab matahari setia muncul di timur tapi
puisi mengubah realitas kosmik. Pada bagian selanjutnya, diceritakan bagaimana
kemudian Toemirah ditangkap polisi, sampai kemudian Jez Maliku di penjara demi
membela martabat sang istri, hasil perilaku culas Soembiono yang menyogok Tuan
Overste, pengakuan cowek yang selama ini menjadi anak buah Soembiono dan
bagaimana ayah Toemirah, Ngatiman, benar-benar membakar rumah Soembiono.
Sebagai seorang novelis, Remy
Sylado memiliki kelebihan tertentu. Ia menguasai beberapa bahasa asing,
termasuk Mandarin, Jepang, Arab, Yunani, dan Belanda. Keahliannya tersebut juga
dia selipkan pada beberapa istilah dalam novel ini. Pada satu bab Jo Anak Mama
Remy Sylado banyak menggunakan Bahasa Minahasa berbentuk resitatif
Sa en kure anyo
Ro ‘na pe’ me’taled
Wo camu ro’nape’
Rumuru a se toyaan
--Jika periuk tanah ini/masih bisa dipersatukan kembali/barulah
engkau boleh/ mendatangi kembali anakmu—
Pada Epilog novel ini dituturkan Remy Sylado bahwa Indonesia
kini tengah terjadi kejahatan kemanusiaan yang amat serius justru karena
padahan kata “menyamakan persepsi’ itu. Darinya berulangkali terjadi pelecehan structural
terhadap kemanusiaan, dan di sana negara selalu absen (hal 538). Juga ditulis
bagaimana tokoh utama bangga disebut oleh suaminya sebagai orang Indonesia, dan
merasakan rindu untuk kembali pulang ke Indonesia.
Terang bulan terang di hati barangkali
Karena cinta sejati adalah cinta ilahi
Turun dari sorga ke dalam sekat nurani
Takkan terkalahkan oleh ancaman maut.
**
Percaya hanya ada barangkali
Dalam kebebasan berkata lugu
Sisanya ada dalam kebingungan, mencari dan tidak menemukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar