Model Kuburan di Sumba |
Aku tersadar dan menemukan diriku terjebak dalam
ruang sempit yang mengunci tubuhku tunduk tanpa gerak. Tak sekelumitpun cahaya dapat kutangkap. Pengar pengap menyerang hidungku. Oksigen didalamnyapun seolah raib, seakan hampa, nafasku makin sesak. Aku meronta sekuat tenaga, tanganku mencoba meraih batas-batas disekitarku, tetapi seolah ada tangan yang lebih besar menahanku, aku tak bisa bergerak.
Tanganku seolah dicengkeram seribu tangan dengan kekuatan berlipat. Aku mulai panik, kakiku menendang-nendang tak
beraturan, ke atas, ke samping, atau entah kemana lagi, aku hanya berusaha
membuat kegaduhan, dan mencoba keluar dari tempat gelap pengap yang membuatku
sulit bernafas ini.
Dalam serak aku mencoba berteriak. Namun, hanya suaraku yang bisa
kudengar. Aku berteriak sekeras yang aku bisa “ Hai!” “Haloooo!!” tak ada sahutan. Suaraku
hanya kembali dalam gema. Tak ada suara
lain selain suaraku. Semuanya sunyi,
hening, bahkan suara gerak anginpun tak kudengar.
Aroma kembang menguar tipis
tercium bercampur dengan aroma dupa dan bunga kamboja. Aku merinding dalam
suasana mistis yang mendadak membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Aku
menggigil. Gigil ketakutan yang tak terbayangkan sebelumnya. Apakah aku
terjebak dalam lubang satu kali dua meter dengan gundukan tanah diatasku dan
batu nisan sebagai penandaku? Apakah aku telah merasakan masuk dalam keranda
dengan empat orang memikulnya, berjalan tertatih dengan menyebarkan beras
kuning disepanjang jalan yang dilaluinya? “Oh, tidak!!!!” Aku seketika tersadar
dengan situasiku. Sekuat tenaga aku berteriak “aku masih hidup!” “Jangan tinggalkan aku!” “Keluarkan aku dari sini!”
Sidoarjo, 15 Juli 2020
#kelasmenuliscerpen
#padmediapubliser
Tidak ada komentar:
Posting Komentar