Brak!!! Suara pukulan benda keras
mengurai kerumunan yang tadinya bernyanyi penuh semangat dengan dendang
lagu-lagu perlawanan. Buk!!! Kembali suara pukulan mendarat di tubuh-tubuh yang
berpeluh. Tak lama kemudian raung motor branjangan
berlomba dengan pekik panik para demontrans. Motor-motor itu memecah barisan
hingga kami kocar-kacir berlarian menyelamatkan diri. Di ujung sisi jalan yang
lain, para demonstran berlarian menghindari gas air mata. Aku berlari sekuat
yang aku bisa, menuju sisi terdekat yang bisa kujangkau. “Ah, pagar sialan”
batinku mengumpat, di depanku pagar besi setinggi dua meter dengan ujung
berkawat duri menghentikan pelarianku. Aku tak bisa lagi berlari, pilihanku
hanya satu, melompati pagar besi berkawat duri, atau kembali dan berhadapan
dengan gebukan, branjangan, atau gas air mata.
Dengan tubuh berpeluh penuh luka
terkena goresan duri pagar, aku berhasil masuk menyelamatkan diri ke sebuah
rumah sakit di samping jalan tempat kami unjuk rasa. Nafasku memburu, sedikit
lega begitu tak kulihat aparat ikut merangsek masuk ke tempat ini. Tiba-tiba seorang
bapak menghampiriku, dia menunjuk ke sebuah warung. Tempatnya agak ramai,
sepertinya banyak keluarga pasien mangkal di warung si bapak. Aku masuk ke
warung itu, kulihat beberapa kawanku sudah berada disitu, menikmati es teh
mereka yang tampak begitu menggoda kerongkonganku, mereka duduk terpisah. Agar
silap mata melihat, pun aku melakukan hal yang sama. Aku mengambil tempat duduk
berbaur dengan keluarga-keluarga pasien, bukan dengan kawan-kawanku.
Tak seberapa lama, es teh
pesananku sampai setelah beberapa saat kupesan. Aku menyesapnya dengan rakus,
langsung habis. Kemudian, aku mengambil sepotong pisang goreng. Belum sampai
genap tiga gigitan, si bapak datang lagi, dengan segelas kecil es teh.
“Bonus” kata beliau.
Aku terkekeh sedikit. “Terima
kasih Pak” jawabku sopan
“Sudah, tidak usah sungkan. Adik
bapak juga sering ikut demo di daerah Tandes sana” kata beliau sambil
menyodoriku pisang goreng lain yang masih panas.
Kulirik sekilas kawan-kawanku
satu persatu, mereka memberi kode aman. Aku sedikit lega. Dalam hati aku memuji
kebaikan si bapak. Ku ambil kembali sepotong pisang goreng yang disodorkannya.
Kami sedikit berbincang, hanya basa basi sekilas tempat kos dan tentang kuliah.
Lambat laun suara gedebag gedebug, dan raung motor branjangan juga mulai mereda.
Entah berapa kawanku yang selamat atau yang tertangkap kali ini. Kembali
kulirik kawanku, mereka satu persatu beranjak meninggalkan warung si bapak.
Aturan pertama saat menyelamatkan diri adalah, jangan bergerombol. “Hati-hati
di jalan” sayup kudengar suara bapak penjual teh baik hati yang menolong kami.
Tanpa sempat melongok, aku berjalan dengan pandangan lurus dengan
langkah-langkah kecil dan cepat.
Aku kembali ke kos dengan jalan
memutar. Aku menolah ke belakang atau nanar menatap kiri dan kanan dengan
resah, langkah kupercepat. Tiba dijalan
besar, aku tak lagi berpikir lyn apa yang harus aku naiki. Tanpa berpikir panjang, aku naik angkutan
sekenanya, turun dan kemudian naik lagi.
Kali ini sesuai arah kos, dan berhasil selamat sampai tempat. Penuh
kelegaan aku masuk ke tempat kosku. Segera aku merebahkan diri di ranjang kamar
kos dengan tetap memakai kaosku yang lusuh kena debu dan keringat serta sedikit
darah goresan duri pagar, tanpa cuci muka atau sekedar membasuh kaki. Mata masih
terjaga, peluh belum kering di badan, aku dengar bu kos mengetuk pintu kamar
sembari memberitahu ada tamu untukku. Sedikit gusar, aku keluar kamar dan
mengumpat dalam hati. Dengan malas aku beranjak ke ruang tamu.
“Kau harus ikut kami untuk kami
mintai keterangan terkait aksi demo buruh yang baru saja kamu lakukan di gedung
DPRD pagi tadi”.
Seketika lidahku kelu, badanku
lumer tak bertenaga. Aku hanya bisa pasrah dibawa ke mobil oleh empat lelaki berbadan
tegap tinggi besar dengan rambut cepak dan muka tanpa senyum. Tanpa lagi sempat
berpamitan ibu kos, atau sekadar berganti baju. Ah belum juga kunikmati
empuknya ranjangku, begitu batinku.
Aku tidak dibawa ke kantor polisi
oleh mereka, tetapi dibawa ke sebuah gedung tanpa papan nama, dengan halaman
luas dan ditengahnya terdapat tanah lapang yang terdapat tiang bendera berdiri
tegak. Bangunan ini adalah sebuah markas militer yang terpisah dari markas
besar mereka. Entah dimana letak gedung ini berada, sepanjang perjalanan mataku
disekap. Tetapi, dari tidak terlalu lamanya perjalanan, sepertinya masih berada
di wilayah Surabaya. Suara-suara lirih
sayup kudengar di luar kendaraan yang kalah oleh hingar musik lagu koplo yang
diputar oleh keempat lelaki berambut cepak itu. Bulu kudukku berdiri, desir
aneh menelusup pelan keseluruh urat nadiku. Tubuhku sedikit mengejang. Hawa
dingin pelan-pelan merambat keseluruh tubuh. Aku sedikit limbung.
Belum lagi kesadaranku pulih
dengan benar, aku dibentak suara yang menyuruhku berjalan agak cepat ke sebuah
ruangan yang ditunjukkan dengan diikuti oleh lelaki yang membawaku kemari. Tempat
itu tidak seperti perkantoran, tetapi lebih mirip bangunan sekolahku ketika SD.
Ruang demi ruang berjejer dengan teras panjang membentuk lorong disepanjangnya.
Pada beberapa titiknya terdapat ruangan segi empat terbuka dengan satu set sofa
duduk beserta sebuah meja. Sekelebat aku melihat bayangan yang tak asing tengah
duduk dan tertawa di sebuah ruangan terbuka yang kulewati. Tak acuh kukibas
prasangkaku. Aku terus berjalan melewati ruangan-ruangan yang kudengar jerit kesakitan kawan-kawanku. Badanku
terasa ikut ngilu. Semuanya suara kawan-kawanku yang tadi bersembunyi di warung
rumah sakit dekat kami demo tadi pagi. Aku menoleh kembali ke bayangan sekelebat
tadi, kali ini dia juga tengah melihatku. Deg! “Setaaaannn!!” Teriakku dalam
hati. Dia si bapak pemilik warung di rumah sakit yang memberiku bonus segelas
kecil es teh dan pisang goreng panas tadi. Dia intel. Asu!!
Sidoarjo, 21 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar