Awkarin. Saya sebenarnya tidak terlalu update tentang ini.
Hanya saja, awkarin menjadi bahasan saya dan teman saya, kemudian saya pun
tergelitik menulisnya, untuk suatu saat saya baca kembali.
Dengan sekelebat saya membaca beberapa artikel tentang
Awkarin, kemudian dengan hanya sekilas juga saya membuka akun IG nya yang
menurut saya sekilas tidak ada yang salah. Bahwa ada yang sedikit berbeda dari
postingan yang Awkarin lakukan, saya sepakat, tidak lebih. Awkarin memang
terlihat lebih berani menampilkan apa adanya dirinya. Dia memperlihatkan ‘style’
nya, cara bergaulnya, dan bagaimana dia mengatasi masalah emosinya (atau
memperlihatkan emosinya?) dan jika kita mau jujur, bukankah diantara kita juga
banyak yang melakukan hal serupa di media sosial? Kemudian apa bedanya dengan
Awkarin? Saya tidak sedang menjadi pendukung Awkarin, atau penghujatnya. Tulisan
saya ini saya buat bukan untuk menghakimi
siapapun. Setidaknya ada pelajaran yang dapat kita petik untuk anak-anak. Atau
mengingatkan pada saya, betapa terkadang saya juga ingin berpose seperti
Awkarin ..hihi (#Ups). Pada beberapa pihak yang rasa-rasa gak enak, sorry to say ..ini hanya kicauan saya tanpa mengandung muatan keuntungan material. Dan Maaf, jika saya juga tidak mengambil salah satu foto Awkarin dan mengunggahnya dalam blog saya, bukan apa, hanya ingin bilang, saya juga narsis ..hahaa
Masa saya remaja adalah masa dimana teknologi masih sangat
terbatas. Apalagi saya dibesarkan dipedesaan dimana hal-hal berbau teknologi
semakin terbatas bisa kami terima. Remaja sekarang hidup di jaman serba
teknologi yang memungkinkan semua orang untuk saling berbagi informasi hanya
dengan satu pencetan jari. Tidak pelak akan semakin sulit bahkan terkadang
mustahil untuk menempatkan batasan apa yang boleh dan tidak boleh di posting atau dilihat di world wide web atau internet. Pemerintah bisa saja memegang
peranan sentral untuk mengelola alur peredaran informasi demi terjaganya
identitas bangsa atau agenda politik lain, tapi seringkali kemajuan teknologi
informasi bergerak jauh lebih cepat dari proses pemerintah meloloskan
undang-undang. Jadi tidak heran jika akan muncul berpuluh bahkan beribu-ribu
Awkarin lain dengan isu berbeda yang mengusik moral masyarakat. Apalagi
batasan UU ITE juga bersifat ambigu. Batasan pornografi terlihat serba subyektif
penilai, yang justru menurut beberapa penguri-uri
budaya mengungkung ekspresi eksplorasi budaya-budaya beberapa daerah.
Saya bersyukur hidup pada masa transisi budaya dimana saya
tidak asing pada permainan-permainan tradisional yang mengajarkan saya tentang
konsep pergaulan, pertemanan, kesetiakawanan
dan saya juga menjumpai perkembangan teknologi dari mulai computer sistem
DOS sampai mengenal internet. Remaja sekarang mungkin banyak yang tidak tahu bahwa
dulu alat backup penyimpanan data tak
sesimpel sekarang atau mungkin banyak diantara mereka yang tidak tahu tentang
menariknya bermain masak-masakan dikebun rumah dengan panci pinjam tanpa pamit
dari salah satu ibu kami. Mereka disuguhi drama-drama cengeng ditelivisi yang
mau tidak mau menginspirasi mereka dalam mengekspresikan emosi mereka. Pada
masa saya remaja, saya tidak mengenal galau hati, saya menikmati perkawanan
dengan gembira seayaknya usia saya berjalan.
Apakah saya tidak pernah patah hati pada masa remaja saya? Jelaslah jawabannya
adalah pernah. Saya cukup menangis, tidak keluar kamar seharian, esoknya, saya
sudah tertawa bersama kawan-kawan saya.
Membandingkan masa saya remaja dan masa Awkarin sekarang
tentu juga bukan sesuatu yang bijaksana. Karena situasinya berbeda. Dan karena
itulah saya mencoba menulisnya. Apa yang dilakukan Awkarin entah bersengaja
atau tidak adalah tanggung jawab kita sebagai generasi lebih tua
dibandingkannya. Saya memang sedikit
banyak melihat banyak drama dalam postingannya, dari mulai tentang gaya
pacarannya hingga pada pengakuannya menggunakan kunci ujian. Dan diakui atau
tidak secara marketing hal tersebut menguntungkan, dan yang membuat semakin
membesar tentu saja media, saya tidak tahu mana yang lebih dahulu muncul,
apakah kontroversi Awkarin ataukah endors Awkarin. JIka saja ini adalah sebuah
drama, siapa yang paling diuntungkan?
JIka anak-anak kita (remaja) mengkiblatkan Awkarin, apakah
ini salah Awkarin? Apakah kita pernah berhenti sebentar, duduk tenang dan
mengingat kembali, apa yang sudah kita bekalkan pada anak-anak kita. Apakah
mereka mengenal HOS Cokroaminoto, atau apakah mereka mengenal Cut Nya’ Dien?
Apakah kita pernah mengajak anak-anak kita berbicara, memberinya ruang untuk
menunjukkan apa yang mereka rasakan tanpa menggunakan amarah dan hak
prerogratif sebagai orang tua? Jika semua jawabannya adalah TIDAK, masihkah
kita menyalahkan Awkarin? Menurut William F. Ogburn,masalah sosial
bermula dari perubahan sosial, dimana perubahan sosial mencakup unsur-unsur
kebudayaan baik yang bersifat materiil maupun yang immaterial dengan menekankan
pengaruh yang besar dari unsur-unsur kebudayaan yang materiil terhadap unsur-unsur
materiil. Kebudayaan
materiil merupakan sumber utama kemajuan. Aspek kebudayaan non-materiil harus
menyesuaikan diri dengan perkembangan kebudayaan materiil, dan jurang pemisah
antara keduanya akan menjadi masalah sosial. Menurut Ogburn, teknologi adalah
mekanisme yang mendorong perubahan, manusia selamanya berupaya memelihara dan
meyesuaikan diri dengan alam yang senantiasa diperbaharui oleh teknologi.
Dengan perkembangan
teknologi dan kebudayaan, akan banyak kasus-kasus seperti Awkarin mungkin
dengan tema yang sama atau bisa jadi berbeda, yang mungkin akan menjadi masalah
sosial. Dan ini bukan salah Awkarin atau orang-orang seperti Awkarin sendirian.
Bolehlah kita tengok kembali UU ITE dan pornografi, tentang keperpihakan pada
perempuan dan anak. Kemudian sudahkah berlaku adil dan proporsional bagi remaja
‘biasa’, publik figure, dan sebagainya. Tak ada salahnya pula jika kita juga
melihat sistem pendidikan kita, sudahkah kita mengajarkan kepada mereka tentang
bagaimana cara mengungkapkan emosi, bagaimana memanfaatkan teknologi dengan
baik? Sudahkah kita memberi ruang bermain dan berteman untuk mereka?
Teruntuk Anakku, nikmatilah masa remaja mu dengan banyak kawan. Lakukanlah banyak kegiatan yang membuatmu lebih mengenal dan memahami bangsamu hingga kamu mencintainya dengan jiwa ragamu. Remaja hanya hadir sekali, buatlah berarti dengan melaluinya tanpa penyesalan. Nak, makmu sayang kamu ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar