Selasa, 18 Agustus 2020

Cermin Priyayi





Warsono mematut dirinya di depan cermin. Seringai kepuasan tersungging dibibirnya. Diusianya yang hampir separuh abad, kegagahan seorang laki-laki masih terpantul dalam cermin itu. Jabatan kepala dinas sebuah kota besar di Jawa tentu bukanlah jabatan sembarangan yang bisa mampir ke semua ASN di negeri ini. “Aku kini seorang priyayi” pongah Warsono  sambil menatap kagum bayangan dirinya pada cermin. Sang cermin takzim menatap Warsono. “Sebuah desa dengan berhektar-hektar sawah bisa kubeli” katanya terkekeh menampakkan gigi siung emasnya. Sang cermin kembali memandang Warsono, kali ini penuh cemooh. Sejenak Warsono mengutuk busuknya kenangan masa lalu. Ketika dia harus menggadaikan harga dirinya untuk sebuah pintu masuk masa depan. “Nuranimu telah mati” bentak cermin muak. Warsono menatap tajam cermin “Nurani hanyalah congek di telingamu, paling banter hanya bikin budeg, bolot” teriak Warsono gusar. “Gedibal penguasa! Kerjamu menjilat, membasuh lubang dubur atasanmu!” teriak Cermin tak kalah keras. Mendadak Warsono terbahak keras “Itu hanya ucapan si sirik. Pengecut tengik impoten penebar bau taik kehidupan” kata Warsono masih dengan terbahak. “Kamu khianati kawanmu!” teriak cermin semakin marah. “Apakah dirimu manusia? lima tahun kamu tiduri perempuan yang jatuh cinta kepadamu, gratis puaskan birahimu, dan dia memilih mati kelaparan bahkan saat hutangmupun belum kamu bayar. Selangkanganlah yang menjadikanmu priyayi!” Warsono tercenung bisu bersama bayangan tubuh markonah menggelantung kaku setelah tiga hari gantung dirinya ditemukan bersama sebuah surat kecil. “Mas Warsono, batas antara cinta dan kebodohan memanglah selenguh nafas”

#Falshfiction

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan Dalam Pasungan

Percikan air tujuh sumur yang bercampur d engan bunga tujuh rupa diguyurkan ke seluruh tubuhku. Dingin yang tiba-tiba menyengat kesadaranku...