Senin, 29 November 2010

Ruwet

Pagi itu, agak buru-buru aku memacu sepeda motor tua ku, sepertinya akan terlambat. Hari ini tak seperti biasanya, aku masuk pagi, masuk pagi adalah hal yang tidak pernah menyenangkan untukku. Masuk pagi artinya aku harus bangun lebih awal, itulah masalahnya. Maklumlah, kelompok bangsawan -bangsane tangi awan :-D - Masuk pagi artinya lagi adalah harus terkena macet. Emosi bisa meluap, mesin motor panas pertanda berontak saking sudah tuanya :(

Dan benar juga, begitu keluar ke jalan besar, aku langsung masuk dalam keruwetan jalan menuju Surabaya. Saling berhimpitan dengan pengendara motor yang lain, juga mobil-mobil pribadi dan angkot. Dan dapat dipastikan, trat-tret klakson tak henti-hentinya memekakkan telinga. Heran, kebiasaan aneh ini kenapa berkembang pesat di sini. Seolah menemukan lahan yang subur dengan takaran pupuk yang pas. Bagiku aneh saja, klakson diobral sedemikian rupa. Sudah jelas jalanan memang macet, malah klakson-klakson ndak jelas, bikin tambah puyeng saja.

Tentang klakson aneh ini aku punya pengalaman yang tak enak bagiku, akibat emosi tak terbendung juga aku kira :). Waktu itu sore hari, aku pulang dari kerja. Karena akan menyebrang aku memelankan motorku untuk melihat kanan dan kiri terlebih dahulu, maklum tempat penyebrangan itu kebetulan tidak ada traffic lightnya. Tret...tiba-tiba dari belakang bunyi klakson mobil sedikit mengejutkanku. Namun, aku tak menyebrang juga karena kulihat ada beberapa kendaraan yang masih melintas. Kuabaikan klakson yang sebetulnya bikin panas itu. Belum lagi hati reda, dan jalanan belum juga sepi, mobil dibelakangku membunyikan klaksonnya lagi. Kali ini aku gerah, kuacungkan saja jari tengahku sambil ku lirik pengemudinya. Gelap, pake film 100% rupanya kaca mobilnya. Saat agak sepi, aku menyebrang. Tanpa aku sangka-sangka mobil ganjen tadi memepetku. Aku paham maksudnya, aku ladeni maunya. Benar saja, ia memakiku, dan kubalas. Aku isyaratkan ia untuk menepi, siap perang pokoknya, namun ia tak meminggirkan mobil. Kali ini tak aku ladeni ia, gila saja, dan buat jalan tambah macet dunk.

Tidak hanya dipusingkan dengan klakson, kepatuhan nyala lampu sign juga pernah membuatku hampir saja celaka. Rupanya, pengendara motor disini banyak yang lupa kalo lampu signnya masih menyala sepanjang jalan. Entah apa yang mereka pikir. Namun pengalamanku bukan karena itu, tetapi karena orangnya keliru menyalakan lampu sign-nya. Waktu itu karena motor depanku menyalakan lampu sign ke kiri, aku yang bermaksud mendahuluinya mengambil sebelah kanannya. Tak kusangka, motor itu membelok ke kanan..lho....!! Secepatnya aku rem motorku, untung lalu lintas tidak sedang padat, dan untungnya lagi aku tidak sedang ngebut.

Begitulah, ruwet. Tidak pernah tidak, beberapa kali aku hampir celaka karena keteledoran pengendara lain atau juga terkadang aku yang tidak waspada. Intinya Aku membenci pagi, juga membenci petang, jika waktu-waktu itu harus aku habiskan dijalanan. Karena saat-saat itulah, lalu lintas sedang padat-padatnya. Aku heran denga kebiasaan mengklakson sana sini disaat yang tidak seharusnya, aku gerah dengan ketidaktertiban penggunaan lampu sign mereka, aku benci dengan pengendara yang ugal-ugalan, main serobot, potong jalan seenaknya. Ah, masih banyak hal yang harus dipelajari untuk bersopan santun dalam perjalanan rupanya, mungkin juga untukku. :p

Sabtu, 27 November 2010

Mereka yang masih dihilangkan

Kasus penghilangan orang secara paksa memang baru muncul di Indonesia pada awal tahun 1998. Saat itu puluhan aktivis pro demokrasi menjadi korban penculikan rejim Orde Baru. Namun sesungguhnya, penghilangan orang secara paksa telah dimulai sejak awal berdirinya rejim Orde Baru. Kasus 1965/1966, Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, DOM Aceh dan Papua adalah diantara kasus penghilangan paksa itu.

Masyarakat Internasional menganggap penghilangan orang secara paksa ini meupakan musuh dari seluruh umat manusia. Karena dalam penghilangan paksa telah terjadi pelanggaran Hak dasar korban, diantaranya meliputi: Hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum; Hak atas kebebasan dan keamanan bagi orang; Hak untuk tidak dikenai penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia; Hak untuk hidup. Tidak hanya bagi korban, bagi keluarga yang ditinggalkan, kausus penghilangan paksa juga mengakibatkan penderitaan yang luar biasa karena mereka berada dalam ketidakpastian mengenai keberadaan orang-orang yang mereka cintai.

Terhadap kasus penghilangan paksa yang terjadi di indonesia, pemerintah tidak banyak melakukan penyelesaian, bahkan seolah-olah cenderung membiarkan sehingga semakin berlarut-larut. Bagaimana tidak, pada September 2009 pada rapat paripurna DPR RI menghasilkan rekomendasi terkait kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998. Namun, hingga satu tahun semenjak rekomendasi itu dikeluarkan, Presiden RI tidak pernah melaksanakan rekomendasi tersebut. Jika saja rekomendasi itu dilaksanakan untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban penghilangan paksa, tentunya sedikit banyak akan sangat membantu keluarga korban. Negara melalui Menteri HUkum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar, sempat menawarkan lapangan pekerjaan kepada keluarga korban. Tawaran ini dimaknai sebagai bentuk kompensasi. Makna pemulihan telah disalahartikan oleh pemerintah, walau sebetulnya hal itu semata dilakukan hanya agar tidak terjadi kegaduhan politik. Tawaran ini jelaslah bukti tidak adanya keseriusan pemerintah untuk menuntaskan kasus penghilangan paksa.

Upaya pencarian terhadap orang-orang yang masih hilang merupakan sebuah upaya pengungkapan kebenaran. Pengungkapan kebenaran menjadi penting dalam rangka demokratisasi di Indonesia, agar pelanggaaran HAM serupa tidak terjadi dikemudian hari. Pemerintaah mungkin bermain dengan waktu, dan akan kita lawan dengan aksi melawan lupa. Fakta-fakta sejarah akan dihimpun dengan menggunakan gaya tutur. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada fakta sekecil apapun dari korban yang hilang seiring dengan bertambahnya usia mereka dan semakin berkurangnya daya ingat.

Sayangnya, gerakan perlawanan ini hingga saat ini hanya dilakukan pada kalanagan korban dan keluarga korban saja. Gerakan-gerakan perlawanan perlawanan dari sektor masyarakat lainnya belum mampu dipersatukan isunya dengan gerakan korban dan keluarga korban. Hal ini juga disebabkan politik pecah belah dari penguasa yang tidak menginginkan adanya persatuan dari seluruh gerakan perlawan korban. Oleh karena itu menjadi peting kemudian, membentuk persatuan gerakan rakyat, selain juga tetap dilakukan gerakan melawan lupa, pendokumentasian fakta sejarah dan yang tak kalah penting adalah penguatan ekonomi korban. Penguatan ekonomi korban menjadi salah satu elemen yang penting utuk dimasukkan dalam gerakan perlawanan, dikarenakan melalui ekonomi penguasa bisa memecahbelah fokus perjuangan, dan tuntutan ekonomi seringkali melemahkan semangat korban dan keluarga korban dalam penuntutan pengungkapan kebenaran. MELAWAN LUPA DEMI TEGAKNYA DEMOKRASI!

Jumat, 26 November 2010

Mangir (sebuah naskah drama-Pram)



Lama buku ini terselip dibawah buku-buku yang lain. Saat tak sengaja menemukannya kembali, aku langsung membaca ulang buku ini. Menarik. Tak ada satu bukupun dari buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang tidak menarik. Buku ini ditulis saat Pramoedya berada di pulau Buru. Buku ini membuka wawasan kita untuk melihat lebih seksama kelemahan dan ketimpangan dari sitem pemerintahhan masa silam, serta pengaruhnya pada masa sekarang (demikian keterangan di belakang sampul buku ini):)

Buku ini menyangkut Senapati dari Mataram yang berkuasa pada paruh kedua abad ke-16. Puncak peristiwa terjadi di keraton Senapati di negara gung Mataram, yang dikenal sebagai Kota Gede. Seperti juga buku Arok-Dedes, buku ini juga penuh dengan intrik politik. Hanya disini intrik-intrik itu terjadi dalam lingkarang keluarga dengan mengatasnamakan menjaga sistem politik ekspansi Mataram

 


Mangir adalah sebuah wilayah Mataram yang merupakan wilayah perdikan. Wilayah perdikan diartikan sebuah daerah otonomi yang takluk pada suatu kerajaan, tetapi dibebaskan dari kewajiban membayar upeti atau pajak, sebagai 'balas budi' atau sebagai bentuk rasa terima kasih kerajaan.Perdikan Mangir terletak hanya 20 km di baratdaya dari kerajaan Mataram. Karena kedekatan inilah, orang dapat melihat proses Mataram dari sesuatu kekuasaan kecil menjadi negara.


Ada penyajian yang berbeda dari versi Mangir yang berkembang selama ini, baik yang tersaji dalam Babad Tanah Jawi maupun cerita rakyat/sastra jawa yang berkembang lainnya. Dalam buku ini Baru klinting digambarkan sebagai seorang anak di luar perkawinan Ki Ageng Mangir (Ayah Wanabaya), sehingga ia sulit diterima masyarakat. Namun kemampuan dan kepiawaiannya dalam berbicara dan pengatur membuatnya mampu diterima dalam pimpinan pardikan. Sedangkan dalam cerita rakyat, Baru klinting digambarkan sebagai sosok tombak pusaka jelmaan  ular sanca yang tak lain adalah anak perawan Mendes yang karena telah memangku sejata pusaka Ki Ageng Mangir menjadi hamil. Perbedaan yang lain adalah tentang kematian Wanabaya. Dalam sastra jawa  digambarkan bahwaWanabaya mati saat bersujud pada Panembahan Senapati, sedangkan Pramoedya memaparkan Wanabaya mati saat perang melawan Mataram. Wanabaya mati akibat ditusuk lambungnya oleh keris Pangeran Purbaya.

Dalam Mangir memunculkan sisi lain Senapati, menyangkut ketegaran hatinya dalam melecehkan keselamatan titisannya, darah dagingnya yang sedang dikandung putrinya, Pambayun, menjadi tumbal perluasan Mataram

Wanabaya melihat janin yang dikandung istrinya sebagai jaminan agar kehadiran mereka dihadapan Senapati tidak mengandung hal-hal kecurigaan, sebaliknya Senapati siap mengorbankan segalanya, termasuk keturunannya sendiri, demi mengejawantahkan negara gung Mataram. Sejarah penguas Mataram yang penuh konflik keluarga pada akhirnya dihubungkan juga dengan pilihan sistem yang terasa janggal tersebut. Kekejaman Amangkurat I, II, maupun III jelas tergambar pada beberapa tulisan, seperti dalam trilogi Roro Mendutnya Mangunwijaya ataupun dalam buku kisah para leluhur dan yang diluhurkan (dari mataram kuno samapai mataram baru)-Pranoedjoe Poespaningrat.

 Cara Pramoedya menggali inspirasi dari tradisi leluhur secara kreatif merupakan tahap palingg awal bagi kita untuk menghayati jati diri sebagai bangsa, supaya kita dapat memilih dan menemukan sistem yang serasi, juga jalan keluar yang paling pas untuk mengatasi maslah yang berpotensi merusak. Demikian tulis Savitri Scherer, dalam prakata Mangir. Walaupun buku ini disajikan dalam bentuk naskah drama, namun tetap mampu membangun emosi. Jalinan ceritanya yang terangkai padat mampu membawa pembaca ke dalam suasana mencekam, ataupun haru. Sisanya, bahasa yang indah khas Pramoedya. Pasti tak jemu membacanya berulang :-D

Kamis, 25 November 2010

Petani oh petani..

Aktivitas bertani tak ubahnya menjadi semacam perjudian nasib. Selain karena cuaca yang tak menentu, kebijakan negara yang tidak berpihak pada petani, kelangkaan pupuk, munculnya bibit palsu, juga menjadi penyebabnya. Sistem pendistribusian pupuk yang terapkan sekarang memungkinkan adanya permainan nakal distributor pupuk.  Para distributor justru malah menyembunyikan sebagian besar pupuk saat petani membutuhkaan, sehingga terjadi kelangkaan pupuk. Pendataan awal petani beserta kebutuhan akan pupuk yang kemudian mempengaruhi besar kecil pendistribusian pada masing-masing wilayah atau distributor seharusnya bisa dilakukan sehingga kontrol akan permainan harga oleh distributor bisa ditekan. Artinya bahwa jumlah petani pada suatu wilayah, jenis tanaman yang ditanam, juga tentang keaadaan tanah juga menjadi dasar pertimbangan. Petani tidak hanya ditempatkan sebagai pemakai pupuk saja. Petani juga menentukan penentuan kebijakan. Namun sampai sejauh ini petani masih difungsikan hanya sebagai obyek semata. Pemakai, hanya sebatas itu.

Begitu juga tentang bibit. Jika saja petani diberi keleluasaan dalam pengembangan varietas pembenihan yang kemudian balai pembibitan cuma mengatur tentang aturan-aturan sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara penemuan satu dengan penemuan lainnya dan hak patennya, tentu pertanian di Indonesia jauh lebih maju dan bervariasi jenis tanaman yang ditanam seperti yang telah dilakukan Thailand. Sepanjang ini pengembang varietas baru pembibitan hanya menjadi hak balai pembibitan. Sehingga ketika muncul bibit palsu, petani sekali lagi menjadi pihak yang paling merugi. Petani sudah harus mengeluarkan biaya untuk pembelian bibit yang ternyata palsu tersebut. Dan karena palsu tentu saja panen yang dihasilkan tidak seperti yang diharapakan. 

Bulog yang diharap bisa menampung hasil seluruh panen raya petani juga sulit mewujudkannya. Alasan kualitas gabah yang buruk, banyaknya kandungan air sehingga memerlukan perlakuan khusus dan banyak perlakuan lainnya menjadi alasannya. Sampai disini petani terpaksa banyak menjual gabah pada tengkulak atau bahkan dijual dalam sistem ijon, saat padi masih muda. Mereka harus rela melepas padi mereka dengan harga berapapun, dimana tengkulak bebas mempermainkan harga. Sekali lagi petani masih menjadi pihak yang dirugikan. Ketika sistem berjalan mereka harus disibukkan dengan bagaimana mempertahankan kualitas padi yang bagus sesuai dengan standart yang telah ditetapkan Bulog. Namun ketika sistem tidak berjalanpun petani masih dispusingkan dengan rendahnya harga gabah. Tengkulaklah yang merajalela, petani masih dipusingkan dengan rendahnya harga gabah sehingga hasil yang didapatkan hanya cukup untuk biaya produksi saja, itupun masih dikatakan untung karena banyak juga terjadi hasil yang didapat tak cukup untuk menanam kembali sehingga mereka harus terlibat pada rentenir untuk menutup biaya tanam yang mahal.

Lumbung desa telah lama mati sedangkan retensi tidak ada lagi. Peran seperti lumbung desa sebenarnya dapat dilakukan koperasi agrobisnis pedesaan dengan membeli gabah petani berapapun kualitasnya, lalu melakukan  perlakuan pascapanen dan bahkan bila mungkin menjualnya dalam bentuk beras sehingga ada bargaining position. Gabah yang sudah dikeringkan atau beras dapat dilepas ke perum. Bulog atau malah pasar secara langsung. Keterjaminan akan harga gabah dipasaran setidaknya mengurangi beban petani, menghindarkan petani terlibat pada tengkulak dan sistem ijon. Petani disini mempunyai posisi yang sama dalam menentukan harga gabah. Jika Lumbung desa atau Koperasi agrobisnis masih sulit untuk dihidupkan, masih ada satu jalan. Dengan membentuk masyarakat mandiri. Dimana suatu masyarakat memenuhi sendiri, ketersediaan akan kebutuhan pangan, dengan menyediakan sendiri dan menggunakannya sendiri juga. Suatu daerah tertentu dipenuhi kebutuhan akan kebutuhan gabah oleh petani setempat. Artinya kecukupan akan kebutuhan beras dalam suatu wilayah dihitung dengan memperhitungkan jumlah penduduk masing-masing jiwa kemudian dikalkulasikan kebutuhan akan beras untuk per hari sehingga bisa diketahui kebutuhan beras dalam satu wilayah tersebut. Nah, kebutuhan itulah yang akan dipenuhi oleh petani setempat. Dan jika ada sisa produksi, sisa inilah yang harus ditampung oleh Bulog. Sistem ini dianggap menguntungkan kedua belah pihak. Untuk konsumen, akan memperoleh harga yang lebih murah, karena memotong beberapa tahap mata rantai ‘perdagangan’ dan untuk petani lebih merasa aman karena ada kepastian harga pasca panen. Kelemahannya adalah, susahnya mencari diversifikasi jenis tanaman. Akan tetapi kelemahan ini dapat ditutup dengan misalnya penghitungan secara mendetail luas lahan, kemudian diperhitungkan kecukupan beras daerah tersebut. Sisa lahan yang masih ada itulah yang bebas ditananmi jenis tanaman apapun, bisa padi dengan varietas lain, atau ditanamami tanaman selain padi.

Dengan sistem yang ada sekarang. Harga gabah mudah turun. Dan yang sering terjadi, jatuhnya harga gabah justru terjadi saat musim panen. Jatuhnya harga gabah tentu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut bila bangsa ini berkeinginan membangun sistem ketahanan pangan yang kuat dan berkelanjutan sekaligus berkemampuan memberikan ajang hidup lebih layak bagi petani dan pelaku di sektor agribisnis. Liberalisasi pasar gabah dan beras memang sah diberlakukan tetapi dalam implementasinya harus tetap dalam batas-batas terlindunginya kepentingan petani. Saat petani semakin terpuruk, pertanian semakin ditinggalkan, tak tergarap, maka juga ketahanaan pangan yang menjadi dengung dari semangat pertanian tak bisa terwujudkan. Ketika misalnya, akibat musim kemarau yang berkepanjangan, karena tidak ada sistem irigasi yang dapat mendudkung kerja pertanian petani terpaksa tidak bisa menggarap sawahnya. Karena sawahnya tergantung pada tadah hujan. Sehingga saat musim kemarau para petani harus mencari mata pencaharian baru untuk sekedar menyambung kebutuhan hidup sehari-hari.

Maka kemudian menjadi sangat logis jika kemudian muncul desakan agar negara melakukan intervensi dengan memunculkan kebijakan-kebijakan yang diharapkan bisa meningkatkan kualitas hidup petani. Salah satunya dengan memberikan penetapan harga dasar gabah yang layak. Dengan pentuan harga dasar gabah  beserta proteksinya, selain dapat memperbaiki kualitas hidup petani juga diharapkan dapat menjaga kesinambungan budaya menanam padi yang berdasarkan antusias petani tak semata sebuah keterpaksaan. Campur tangan negara dalam penentuan harga dasar gabah menjadi sangat penting karena desain harga pangan yang murah seperti halnya yang terjadi sekarang, walaupun dengan alasan inflasi merupakan bentuk nyata marginalisasi petani, pemiskinan struktural. Selain tentu saja membenahi mata rantai pedistribusian pupuk dan pembibitan. Cara lain yang dapat dilakukan selain menetapkan harga dasar gabah adalah dengan membentuk masyarakat mandiri seperti yang telah diurai diatas. Artinya disini terdapat penguatan komunitas. Petani mempunyai bargaining position  dalam menentukan harga pasar selain konsumen dan pasar itu sendiri. Fungsi pasar tetap ada, hanya mata rantainya yang lebih diperpendek. Disini Petani tidak hanya dijadikan objek dan pensubsidi kecukupan pangan, tetapi petani aktif dalam penentuan kebijakan.

Intervensi negara mutlak diperlukan bila kekuatan di antara pelaku pasar berada dalam ketidakseimbangan. Apa jadinya negara, jika semua petani mogok tidak menanam padi, sementara ketersediaan beras impor di pasar global yang sangat terbatas pastilah membuat harganya juga mahal pula. Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang lumayan padat, ambruknya ketahanan pangan harus dihindari dengan memberi insentif memadai kepada petani yang sudah terlalu lama menderita dan menjadi objek pembanguan belaka. Liberalisasi mungkin perlu tetapi memberdayakan produk lokal amatlah penting. Bagaimana negeri yang gemah ripah loh jinawi dimana kayu saja bisa jadi tanaman tetapi untuk kecukupan pangan masih harus mengimpor dari negara tetangga? Dimana tanggung jawab negara terhadap penduduk yang mayoritas adalah petani tetapi para petani justru mengalami pemiskinan secara struktural? Dimana arti ketahanan pangan yang didengungkan jika essensi dari pertanian, menanam dan kebutuhan petani tak pernah menjadi perhatian negara? Saatnya  menata ulang, petani tak lagi hanya menjadi obyek kebijakan, petani harus menjadi tuan atas tanah garapannya, jangan biarkan petani hanya menjadi penggarap alias kuli atas tanahnya sendiri. Inilah essensi membangun desa. Memberdayakan petani, mengangkat pertanian yang telah menjadi nafas sebagaian besar penduduk desa menjadi bagian penting dari kebijakan negara. Bukan mengubah desa menjadi kota. Mendandani desa dengan fasilitas-fasilitas yang terkadang tidak diperlukan oleh penduduk desa. Menjadikan harum desa menjadi hilang. Biarlah desa berkembang dengan tetap menjadi desa, maju sebagai desa, dan kota tetap sebagai kota, dengan segala kesibukan kota dan kepenatan juga kebisingannya. Atas nama pembangunan, tata ulang kembali desa, bukan dengan menjadikannya menjadi kota baru namun membuat desa mempunyai ciri pedesaan tanpa harus tertinggal dari daerah yang disebut ‘kota’. Salah satunya dengan memberi ruang yang luas terhadap pertanian, dengan lebih memperhatikan nasib petani.

Bapak..



Gurat itu makin kentara. Kau tampak lelah. Kerutan diwajahmu seolah bertutur beban yang sellama ini kau jalani. Aku ingat, saat kau begitu cemas dengan aktivitasku, kala masih kuliah, yang sering berbenturan dengan pembuat kebijakan itu. Saat itu, kau baru tahu aktivitasku selain di kampus. Berurusan dengan polisi karena demonstrasi dengan buruh. Dan lalu ia pun bertutur bagaimana setelah kejadian 65 militer dan penguasa mengobrak-abrik kampus-kampus. Ia, yang kebetulan juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan, ikut menjadi korban. 'Dipaksa' keluar dan harus berlari sembunyi belum lagi teror psikologis dan rasa takut yyang sangat menjadi hari-hari yang mesti dijalaninya pasca tragedi 65. Akupun menjadi maklum dengan rasa cemas dan sikap protektifnya kala itu.

Keuletanmu mengantarkan kau menjadi pengajar untuk pelajaran bahasa inggris di sebuah sekolah negeri tingkat pertama. Dan dengan keteguhanmu pula kaupun menjadi pemimpin di desa tempat kami tinggal, hingga dua masa jabatan malah, dengan sistem pemilihan langsung.Untuk pengabdianmu yang satu ini, salutku tak terhingga seperti halnya aku mengagumi sosokmu. Kau selalu siap sedia kapanpun masyarakat membutuhkan, hanya sakitlah yang mengahalangimu untuk mengabdi. Tak perduli hari libur, atau saat tengah malam, jika ada yang mengetuk pintu dan membutuhkan tenaganya iapun dengan segera menyediakan waktunya.

Lima bulan lalu, ibuku terdeteksi terkena virus hepatitis C. Kami sekeluarga sempat shock. Kaulah yang menyakinkan kami bahwa ibu dan kami sekeluarga pasti dapat melalui ini semua. Dan begitulah, ibupun akhirnya menjalani pengobatan di Surabaya setiap seminggu sekali. Di awal pengobatan, aku ingat pesan pendekmu,"...akulah yang seharusnya ada disisinya, menguatkannya, dan mendampingi saat ia melawan kesakitannya". Aku tak bisa membalas pesan pendekmu, dadaku sesak, airmata tak bisa kutahan lagi. Aku selalu terharu dengan cinta besarmu untuk kami, teramat untuk ibu.

Kini, ada tujuh batu berada di empedumu, asmamu juga semakin saja sering kambuh. Kau tampak tua dengan tubuh yang semakin kurus. Namun, kau kembali meyakinkan kami kalau kau baik-baik saja. Hanya berdekatan dengan ibu keinginan yang tak pernah pudar. Dengan segala semangat dan rasa kasihmu, kuatlah Bapak...kalahkan batu-batu itu dengan tekad hati yang selalu sekuat baja.

Rabu, 17 November 2010

Susahnya hidup di Indonesia-1

Rumah yang aku tinggali sekarang adalah sebuah perumahan yang baru dibuka, walau begitu, sekarang sudah hampir penuh tertempati. Tahun 2008 saat aku menempatinya pertama kali, aku termasuk orang pertama yang menempati perumahan ini. Saat itu fasilitasnya bahkan belum tertata, listrik masih belum disambung, saluran air masih bannyak yang belum selesai, dan banyak yang belum ditempati, untuk satu deret gang yang aku tempati, hanya aku dan tetangga pojok yang baru menempatinya.

Kabarnya, status perumahan ini sudah diserahterimakan ke warga, namun tidak seluruhnya. Artinya sebagaian menjadi tanggung jawab warga dan sebagian lagi menjadi tanggung jawab developer.Hal-hal seperti keamanan, kebersihan menjadi tanggung jawab warga, sedangkan untuk sarana dan prasarana menjadi tanggung jawab developer. Sepertinya angin surga.Pas pada tempatnya. Namun inilah lihainya sang kapitalis. Sarana dan prasarana yang menjadi tanggung jawabnya, jika ada kerusakan, atau hal yang tak berjalan sebbagaimana mestinya, seperti saluran pembuangan yang tak sempurna, tidak akan segera dibenahi, atau diabaikan malah. Sedangkan untuk pos keamanan dan kebersihan sudah menjadi beban warga karena dua hal tersebut mengandung pengeluaran setiap bulan, tentu saja developer tak mau merugi. Dan karena statusnya belum diserahkan ke desa setempat, pembangunan infrastruktur tidak bisa dimasukkan dalam program pembangunan desa setempat...Uft..!!!

Setelah (benar)kehilangan

Menulis. Bara tersembunyi yang mampu meluapkan segala emosi. Amarah, suka, sedih, malas, gundah, atau suasana hati yang biasa saja menjadi sesuatu yang menarik untuk dibaca ulang pada suatu masa. Menjadi sebal saat Rumah Damay-ku, tempat menulisku, menjadi lenyap karena tak dirawat.

Menulis. Membuatku merasa lebih nyaman. Karena tak perlu lagi ada yang terluka saat aku marah-marah tak jelas hanya karena sedang bad mood. Energiku bisa aku salurkan dengan menulis. Pendek kata, tak perlu ada yang terluka. Tetapi, pepatah bilang, pena lebih tajam dari pedang. Gawat dunk, pasti ada yang terluka. Ah, itukan pena, inikan hanya keypad :)

Menulis. Aku ingin menulis. Walaupun aku tidak pandai menulis, tetapi aku ingin melakukannya. Dan, aku bangga memiliki kawan yang bisa aku paksa untuk membantuku menulis. Posting pertamaku ini, aku buat untuknya, juga untuk rasa ingin menulisku.


Perempuan Dalam Pasungan

Percikan air tujuh sumur yang bercampur d engan bunga tujuh rupa diguyurkan ke seluruh tubuhku. Dingin yang tiba-tiba menyengat kesadaranku...