Rabu, 23 Desember 2020

Perempuan Dalam Pasungan

Percikan air tujuh sumur yang bercampur dengan bunga tujuh rupa diguyurkan ke seluruh tubuhku. Dingin yang tiba-tiba menyengat kesadaranku. Tak dapat ditahan oleh bebatan kain jarit ibu. Lirih terdengar alunan gamelan ritmis nan lembut dengan suara sang dalang yang kadang keras kadang melembut bergantian mengukuhkan pijakanku. Mataku masih kupejam, Aku menghirup aroma bunga tujuh rupa dalam-dalam. Berlahan mataku kubuka, kutangkap sekelumit cahaya senja dari celah dinding bambu. Tubuhku makin menggigil, guyuran demi guyuran diberikan bapak dan ibu bergantian.

Dengan tubuh basah kuyub, aku dituntun ke dalam rumah. Kakiku masih lemah, seperti enggan menopang berat badanku. Bayangan tubuhku kutangkap dalam pantulan cermin besar pada salah satu dinding kamarku. Kutatap cermin lekat-lekat, aku seperti melihat bayangan orang lain dalam pantulannya. Perempuan kurus dengan rambut teruarai penuh air.

“Menyedihkan sekali,” kataku tanpaku sengaja.

“Siapa?” Tanya Ibu yang tengah mengeringkan tubuhku.

“Perempuan dalam cermin itu.”

Sekilas kutangkap raut kesedihan ibu melalui cermin. Tidak ada sepatah kata lagi keluar dari mulutnya yang telah penuh oleh kerut. Perlahan kutangkap isak yang coba disembunyikannya. Ibu memegangi pundakku, tepat pada tulang yang tampak menonjol pada sisi kanan dan kiri ku. Matanya menatap mataku melalui cermin.

“Ibu, kemana semua lukisanku?” Tiba-tiba aku menyadari semua dinding kamarku kosong.

“Stt.. Diamlah!” Jawab ibu penuh cemas

“Ada apa dengan lukisan-lukisanku?” Tanyaku tak mengerti.

Tangis ibu pecah. Suaranya demikian memillukanku. Dipeluknya aku erat.

“Jangan lagi membahas lukisanmu ya nduk.”

“Lukisan itu tidak bersalah Bu, kenapa harus dihancurkan? Merekalah yang selama ini membuatku tetap hidup”.

“Pikiranmu  nduk yang membuat bapakmu murka. Lukisan perempuan tanpa baju membuat bapakmu jijik. Kenapa kamu mengumbar tubuhmu sendiri nduk?”  Kata Ibu penuh keprihatinan.

Aku melihat wajah ibu kini telah dibanjiri air mata.

“Apakah dosa melukis kebenaran Bu? Lukisanku bukan mengumbar tubuhku secara erotis, ada kain tipis menyilang yang menutupi payudara dan kelaminnya, tetapi begitulah orang-orang memandang tubuhku dan tubuh perempuan-perempuan kebanyakan, semua dikaitkan dengan erotisme, selangkangan, dan birahi.”

“Hust..Pokoknya bapakmu ndak suka. Tabu katanya, apalagi kamu juga merantai kaki, tangan, leher, dan tubuh perempuan dalam lukisanmu, belum lagi gambar laki-laki memegang rantai dengan lidah menjulur ke tubuh perempuan itu. Bapakmu benar-benar murka. Sudahlah jangan lagi kamu bahas lukisanmu!” Kata ibu setengah menjerit

“Apakah aku masih boleh melukis lagi Bu?” Tanyaku penuh harap.

“Oalah nduk jangan membuat jangtung ibumu ini copot. Kalau hanya murka bapakmu yang kamu dapat, Ibu masih bisa tahan, tapi Ibu bisa mati berdiri kalau bapakmu memasungmu kembali. Nurutono bapakmu, manut, diamlah.” Jawab ibu dengan sengal makin menjadi.

Aku tercenung, kupandangi ibuku lekat-lekat. Pada wajah tua itu masih kutangkap sisa lebam dibawah sudut matanya. Pada leher bawah telinga dan lengannya, bilur keunguan mengotori kulit cerahnya. Ada sesak aneh menyelimutiku, mendorong ingin keluar.

***

Senja berganti malam yang berangsur menyenandungkan sepi nan memilu, ketukan halus pada jendela kamar serta merta memporakporandakan keheningan yang nyaris bisu. Aku membuka jendela kamar, dari kegelapan menyeruak wajah sahabatku tertawa riang

“Selamat datang kembali pada peraduan Tuan Putri.” Katanya sambil mengedipkan genit matanya.

“Ah ini sih penjara!” Kataku bersungut sambil menghempaskan diri di atas kasur empuk berkain linen lembut dengan bau harum segar kesukaanku.

“Tapi kakimu masih bisa berjalan kesana kemari, kamu juga bebas melompat, menendang, Bagaimana, apa yang ingin kamu lakukan dengan kebebasanmu?” Tanyanya lagi

“Aku ingin mengunjungimu, di atas pohon besar kita mentertawakan semut yang selalu mengganggu kita. Kemudian kembali melukis. Eh bagaimana kabar rumah mu?” Tanyaku

“Besok kamu lihatlah. Sepertinya bapakmu berusaha keras merobohkannya, beberapa  orang  datang dan mencoba memotongnya, tapi sejauh ini masih bisa kuhalangi. Sudahlah, kamu pikirkan saja apa yang ingin kamu lakukan.” Katanya sambil berjalan mendekatiku, kemudian dia berbaring di sisi ku.

Kami kemudian saling bercerita. Aku demikian senang dia selalu mendengarkanku. Sahabat kecilku, yang disebut orang sebagai hantu trembesi,  selalu membuka telinganya untuk suaraku yang terbungkam.

***

Semilir angin malam merasuk kulitku dengan paksa. Aku meraih jaket tebal, melindungi tubuhku dari dingin yang menusuk. Suara angin terdengar saling berkejaran mengusik sunyi. Aku betah duduk di teras, sambil memejamkan mata, dan membiarkan angin melewati wajahku tanpa permisi. Mengacak rambutku hingga tampak kusut. Suara derit kursi disebelahku membuyarkan ritmis malam dan angin yang menentramkan. Ku lihat bapak duduk dengan rokok lintingnya yang masih baru menyala.

“Besok keluarga Pak Prasojo akan datang berkunjung,” kata bapak membuka pembicaraan.

Aku melihatnya sekilas tanpa menjawab.

“Berdandanlah yang pantas, gelung rambutmu biar rapi, anak gadis nggak pantes rambut dibiarkan terurai begitu.” Lanjut Bapak lagi.

“Kenapa aku harus berdandan?” Tanyaku

“Keluarga Prasojo kemari bukan sekedar berkunjung atau main-main. Mereka ingin melihatmu untuk anak laki-laki bungsunya. Rapikanlah dirimu besok, hidangkan makanan untuk mereka.” Kata Bapak dengan nada tak terbantahkan seperti biasa

“Bukankah anak bungsu Pak Prasojo terkenal arogan, suka berkelahi, sok jagoan dan suka main perempuan Pak?” Tanyaku

“Halah, laki-laki itu memang harus begitu, baru kelihatan gagah, lawong belum kawin. Rapopo. Dia yang akan melindungimu kelak. Kamu mestinya bersyukur, masih ada keluarga baik-baik yang akan melamarmu. Meskipun kamu tergolong ora elek, tapi tetangga disini semua tahu, kamu pernah dipasung, perempuan gila. Bapak sudah menyumpal mulut-mulut mereka” Dihisapnya rokok lintingnya dalam-dalam. “Sudah, besok, jangan mengacau, tugasmu hanya keluar dengan rapi, macak sing ayu, suguhkan makanan dengan lembut, beri mereka sedikit senyuman, sudah. Selesai. Selanjutnya Bapak dan keluarga Pak Prasojo yang akan berunding”

“Tapi Pak…” Belum selesai kalimatku, Bapak sudah menyahut dengan nada tinggi.

Ora usah mbantah!! Kamu mau bilang akan jadi pelukis? Pergi kesana kemari seperti gelandangan dengan baju compang camping, tidur di sembarang tempat dengan bau cat dimana-mana? Ngomong dengan lukisan, dengan pohon juga batu? memang gila! Mau jadi apa sebenarnya kamu? Hidup itu hanya perlu uang, perlu nama besar, semua ada dalam keluarga Pak Prasojo. Dengan lukisanmu, bagaimana kamu akan hidup? Perempuan itu cukup punya suami, syukur-syukur mapan, kamu tinggal merawatnya, melahirkan anak-anaknya, selesai.” Hardik Bapak.

“Tapi Pak..” Kembali kalimatku menggantung di udara. Bapak memandangku dengan tajam.

“Apakah kamu tidak merenung saat kupasung kemarin? Semua orang bilang kamu gila, berkeliaran kesana kemari, ngoceh apa juga gak jelas. Otakmu itu terlalu liar. Kalau kamu macam-macam, kupasung lagi biar kamu bisa merenung. Sesekali nurut kenapa, Jadi anak jangan hanya bisa memberontak!” Muka Bapak merah padam.

“Sekarang masuk ke kamar mu. Besok malam, berdandanlah untuk keluarga Pak Prasojo.Terlalu lama di teras bisa membuatmu jadi perempuan gila beneran.”

Dengan langkah berat, aku berjalan ke kamarku. Sekilas dari pintu yang sedikit terbuka kulihat ibuku tidur tengkurap. Di bawah kakinya, masih berserakan pecahan gelas minum. Aku menghambur ke tempat nya

“Turuti maunya Bapakmu. Itu yang akan menyelamatkanmu”. Ucap Ibu lemah.

 

***

Matahari sedang melelehkan ubun-ubun saat aku naik pada batang pohon trembesi belakang rumah. Kupilih dahan paling besar dan kemudian kurebahkan badanku disana. Semilir angin mengacak helai-helai rambutku. Sebuah suara yang tidak asing tiba-tiba datang

“Bicaralah.” Suara itu seperti perintah tetapi terdengar begitu menyenangkan.

Aku terdiam. Aku belum menyiapkan suaraku. Terlalu lama mulutku dibungkam. Sebagai gantinya, suara tangisanku yang aku berikan untuknya.

“Menangislah.” Suara itu kembali membelai telingaku.

Tubuhnya dibaringkan pada dahan diatasku. Pandanganku terhalang air mata. Aku menyekanya dengan kasar. Dia tersenyum. Telingaku terusik kembali oleh gemerisik daun yang tengah bercengkrama bersama angin.

“Bicaralah.” Kembali suara itu ku dengar dari mulutnya yang mungil.

“Kenapa hanya kamu satu-satunya yang selalu mendengarkanku?” Meminjam suara angin kekuatan suarakupun keluar.

“Karena aku kawanmu.” Jawabnya

“Tubuhku ini telah disiram dengan air yang berasal dari tujuh mata air. Wayang juga telah digelar semalaman. Tetapi mengapa sekarang aku harus mempercayakan jodoh dan hidupku pada hitungan wuku neton dan tangan Bapakku? Kenapa aku harus tunduk pada arah mata angin? Mereka menghancurkan peralatan melukisku, bahkan semua lukisanku dibakar. Katanya aku pemuja setan. Kenapa bahkan mereka tidak pernah memintaku berbicara seperti yang selalu kamu lakukan? Ibuku tidak membelaku, jangankan membelaku, membela dirinya sendiripun, tak mampu dia lakukan.” Kataku dengan cepat, seperti takut ada yang akan menghentikanku berbicara.

“Mungkin lidahmu tidak terlihat oleh mereka.” Katanya sambil menjulurkan lidah panjangnya hingga menjangkauku.

“Apakah jika aku bersamamu, kamu akan selalu membiarkan aku berbicara?” Tanyaku

“Tentu saja. Mari kita buat lidahmu terlihat oleh mereka.”

***

Aku melayang dalam pendar warna yang begitu indah. Seiring dengan hawa dingin yang aneh, kulihat tubuhku menggantung pada dahan pohon trembesi. Lidahku tidak lagi bersembunyi dalam lubang mulut yang selalu dibungkam. Bersama suaraku yang terus menggema, aku tersenyum.


@apikartini

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan Dalam Pasungan

Percikan air tujuh sumur yang bercampur d engan bunga tujuh rupa diguyurkan ke seluruh tubuhku. Dingin yang tiba-tiba menyengat kesadaranku...