Senin, 13 Desember 2010

Madakaripura: History berbalut keindahan

Seperti rencana awal, setelah selesai dengan Bromo, Madakaripura tujuan kami selanjutnya. Awalnya memang terjadi perdebatan, mengingat hujan yang tiada henti-hentinya, walau tidak deras. Ada kawan yang rupanya khawatir dengan cuaca yang tidak bersahabat itu. Karena kami datang beramai-ramai, kecemasan seseorang tentu saja harus dibicarakan. Begitulah, sambil menunggu hujan agak reda, akhirnya kami berdelapan nyangkruk di warung sambil tarik ulur antara terus atau balik.Empat diantara kami ngotot terus -aku termasuk kelompok yang ngotot ini-, tiga diaantaranya ragu, dan satu orang dengan keras bilang, balik saja. Dan rupanya, cuaca sedang berpihak, hujan tinggal gerimis, yang ngotot teruspun mayoritas, dan hasilnya adalah, madakaripura dunk.......

Menuju lokasi Madakaripura dari Bromo ataupun dari Surabaya, jalanan mulus bisa dilalui. Namun, semakin dekat ke pintu gerbang Madakaripura, jalanan makin menyempit. Bahkan kesulitan jika ada dua mobil berpapasan.Di pintu gerbang, petugas sigap menghitung jumlah pengunjung di kendaraan. Untuk satu orang dikenai biaya Rp2.500 Setelah memarkir mobil, kami langsung didatangi oleh penduduk setempat yang menawarkan jasa sebagai guide untuk membantu meniti jalan menuju air terjun. Madakaripura rupanya pernah dihantam longsor, sehingga jalur pejalan kaki terputus dan mengharuskan penikmat air terjun turun menyeberang ke sungai berbatu-batu untuk mencapainya. Mereka menawarkan harga Rp30.000 untuk sekali antar. Kami sempat tawar menawar harga, hingga tercapai kesepakkatan harga Rp.25.000. Ditempat inipun kami skalian ditawari tas plastik. Kami sempat bingung, namun setelah dijelaskan medan yang akan kami lalui dan tempat yang akan kami tuju kamipun sepakat membeli tas plastik itu beberapa. Dan akhirnya, Madakaripura dengan patung Gadjah Mada yang berbadan dempal, rambut digulung keatas, dan sikap duduk tegap bersedakap itupun akhirnya nampak menyambut kami :-D


Bersama rombongan, dengan ditemani seorang guide, aku harus berjalan kurang lebih satu kilo-an sebelum kami benar-benar samapai pada air terjun Madakaripura. Kadang kami harus naik ke jalan setapak, tak berapa lama turun lagi meloncati batu-batu kali yang airnya cukup deras. Walau sempat ragu, ternyata mengambil guide untuk menuntun perjalanan kami adalah pilihan yang tepat. Dan sang guide itu memang benar-benar menjalankan tugasnya, menuntun serta menunjukkan jalan terbaik dan tidak membahayakan.


Aku sempat terpesona dengan jajaran pohon di tebing kiri dan kanan. Pohon-pohon itu seperti memiliki jari jemari yang bergandeng tangan antara satu dengan yang lain. Hijaunya terasa menyambung tak putus. Tanaman rambat tumbuh subur dibagian bawah, seolah menyatu dengan pepohonan yang meraksasa. Talian hijau semakin tebal di permukaan tebing.Pikiranku bergantian menghayal antara menjadi seorang petualang dan membayangkan pada masa saat Mahamantrimukya Rakrian Ma Patih Pu Mada yang sering kita kenal sebagai Gajah Mada itu melewati rute yang juga kami lewati itu. Entah bagaimana dulu jalanan itu pada mulanya. Mungkin hanya hutan belantara yang bahkan jalan setapakpun tak ada.

Madakaripura adalah air terjun dengan bentuk yang unik dan eksotik. Gemuruhnya memang tidak spektakuler, tetapi lokasi air terjunnya yang membentuk ceruk di tebing, di kelokan yang buntu, membuat aku pada titik itu sangat memaklumi pilihan Sang Mahapatih untuk menyepi di sini. Gadjah Mada, merasa gagal pada sumpahnya, menjadi tertuduh utama dan penanggungjawab lara Bubat, lalu meluruh dan menyepi ke tempat yang sudah ia idamkan, Tongas, di Madakaripura ini. Riwayat sejarah yang ini, rupanya tak semua orang tahu, karena seingatku, dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, tak ada lagi kisah tentang Gadjah Mada usia Perang Bubat.
Sesungguhnya, ada lima air terjun di Madakaripura. Tiga terlihat dengan jelas, sedangkan dua yang lainnya, tersembunyi di balik air terjun yang lain. Yang paling besar, tingginya 200 meter. Di tengah tebing, di balik air terjun besar itu menganga lubang yang melintang secara horisontal. Penduduk sekitar percaya, di lubang itulah Gadjah Mada pernah duduk bersemedi.

Mendekati air terjun, guide mengingatkan bahwa semburat air terjun bisa membuat kami basah kuyup. Kami langsung cepat-cepat menyimpan barang berharga yang mudah rusak kena air di sebuah tas plastik yang telah kami beli di tempat guide diawal tadi. Agar tak benar-benar basah, kawanku memutuskan menyewa payung seharga Rp2.000, yang memang tersedia di dekat kami pertama merasakan cipratan air terjun. Aku memutuskan tidak memakai jasa ini. Aku sudah menyiapkan baju ganti dan berniat benar-benar merasakan hempasan tetes air terjun itu sampai kekulit. Kamipun menerobos cipratan dan menuju pusat air terjun. Aku sebut dengan pusat, karena dari kelima air terjun, air terjun inilah yang paling tinggi, dengan cerukan didindingnya dan air limpahannya yang membentuk danau biasa digunakan untuk mandi dan berendam. Alkisah konon katanya, bisa membuat awet muda :)

Aku dan beberapa kawan, tak semuanya, memuaskan diri berendam dan merasakan cucuran air terjun Madakaripura. Bukan karena ingin awet muda seperti kisah konon katanya itu, tetapi karena kami benar-benar sedang menginginkan menyatu dengan alam. Merasakan setiap tetes air yang merasuk dalam pori-pori kami. Membuang semua kepenatan kerja, bahkan ada yang berteriak-teriak memaki bosnya untuk melepaskan luapan emosi mereka.Sayangnya, aku hanya berbekal kamera pocket. Sempat nekat meminta guide kami untuk mengambil beberapa gambar, karena aku sudah basah kuyup sejak mulai menerobos air terjun pertama, hanya sedikit gambar yang sempat terambil dan itupun blurr, tak jelas.



Setelah puas berendam dan bermain dibawah air terjun, dengan kuyup kami meninggalkan air terjun besar itu dan menyusur arah balik. Tak jauh dari situ, kami menghirup bau gorengan. Setelah berganti baju, kamipun membuang hawa dingin dengan beberapa potong gorengan dan minuman hangat. Hmmm, nikmat rasanya istirahat sejenak di sebuah kedai kecil yang ternyata sudah menyiapkan penganan kecil dan minuman hangat, setelah kami puas berbalut dinginnya air terjun Madakaripura.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan Dalam Pasungan

Percikan air tujuh sumur yang bercampur d engan bunga tujuh rupa diguyurkan ke seluruh tubuhku. Dingin yang tiba-tiba menyengat kesadaranku...