Jumat, 26 November 2010

Mangir (sebuah naskah drama-Pram)



Lama buku ini terselip dibawah buku-buku yang lain. Saat tak sengaja menemukannya kembali, aku langsung membaca ulang buku ini. Menarik. Tak ada satu bukupun dari buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang tidak menarik. Buku ini ditulis saat Pramoedya berada di pulau Buru. Buku ini membuka wawasan kita untuk melihat lebih seksama kelemahan dan ketimpangan dari sitem pemerintahhan masa silam, serta pengaruhnya pada masa sekarang (demikian keterangan di belakang sampul buku ini):)

Buku ini menyangkut Senapati dari Mataram yang berkuasa pada paruh kedua abad ke-16. Puncak peristiwa terjadi di keraton Senapati di negara gung Mataram, yang dikenal sebagai Kota Gede. Seperti juga buku Arok-Dedes, buku ini juga penuh dengan intrik politik. Hanya disini intrik-intrik itu terjadi dalam lingkarang keluarga dengan mengatasnamakan menjaga sistem politik ekspansi Mataram

 


Mangir adalah sebuah wilayah Mataram yang merupakan wilayah perdikan. Wilayah perdikan diartikan sebuah daerah otonomi yang takluk pada suatu kerajaan, tetapi dibebaskan dari kewajiban membayar upeti atau pajak, sebagai 'balas budi' atau sebagai bentuk rasa terima kasih kerajaan.Perdikan Mangir terletak hanya 20 km di baratdaya dari kerajaan Mataram. Karena kedekatan inilah, orang dapat melihat proses Mataram dari sesuatu kekuasaan kecil menjadi negara.


Ada penyajian yang berbeda dari versi Mangir yang berkembang selama ini, baik yang tersaji dalam Babad Tanah Jawi maupun cerita rakyat/sastra jawa yang berkembang lainnya. Dalam buku ini Baru klinting digambarkan sebagai seorang anak di luar perkawinan Ki Ageng Mangir (Ayah Wanabaya), sehingga ia sulit diterima masyarakat. Namun kemampuan dan kepiawaiannya dalam berbicara dan pengatur membuatnya mampu diterima dalam pimpinan pardikan. Sedangkan dalam cerita rakyat, Baru klinting digambarkan sebagai sosok tombak pusaka jelmaan  ular sanca yang tak lain adalah anak perawan Mendes yang karena telah memangku sejata pusaka Ki Ageng Mangir menjadi hamil. Perbedaan yang lain adalah tentang kematian Wanabaya. Dalam sastra jawa  digambarkan bahwaWanabaya mati saat bersujud pada Panembahan Senapati, sedangkan Pramoedya memaparkan Wanabaya mati saat perang melawan Mataram. Wanabaya mati akibat ditusuk lambungnya oleh keris Pangeran Purbaya.

Dalam Mangir memunculkan sisi lain Senapati, menyangkut ketegaran hatinya dalam melecehkan keselamatan titisannya, darah dagingnya yang sedang dikandung putrinya, Pambayun, menjadi tumbal perluasan Mataram

Wanabaya melihat janin yang dikandung istrinya sebagai jaminan agar kehadiran mereka dihadapan Senapati tidak mengandung hal-hal kecurigaan, sebaliknya Senapati siap mengorbankan segalanya, termasuk keturunannya sendiri, demi mengejawantahkan negara gung Mataram. Sejarah penguas Mataram yang penuh konflik keluarga pada akhirnya dihubungkan juga dengan pilihan sistem yang terasa janggal tersebut. Kekejaman Amangkurat I, II, maupun III jelas tergambar pada beberapa tulisan, seperti dalam trilogi Roro Mendutnya Mangunwijaya ataupun dalam buku kisah para leluhur dan yang diluhurkan (dari mataram kuno samapai mataram baru)-Pranoedjoe Poespaningrat.

 Cara Pramoedya menggali inspirasi dari tradisi leluhur secara kreatif merupakan tahap palingg awal bagi kita untuk menghayati jati diri sebagai bangsa, supaya kita dapat memilih dan menemukan sistem yang serasi, juga jalan keluar yang paling pas untuk mengatasi maslah yang berpotensi merusak. Demikian tulis Savitri Scherer, dalam prakata Mangir. Walaupun buku ini disajikan dalam bentuk naskah drama, namun tetap mampu membangun emosi. Jalinan ceritanya yang terangkai padat mampu membawa pembaca ke dalam suasana mencekam, ataupun haru. Sisanya, bahasa yang indah khas Pramoedya. Pasti tak jemu membacanya berulang :-D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan Dalam Pasungan

Percikan air tujuh sumur yang bercampur d engan bunga tujuh rupa diguyurkan ke seluruh tubuhku. Dingin yang tiba-tiba menyengat kesadaranku...