Rabu, 26 Januari 2011

Tua adalah kepastian..

Rumah itu terlihat singlu. Cat rumahnya memudar, bangunan rumahnya berdiri kokoh dengan ukuran yang cukup besar. Halamannya banyak ditumbuhi rumput liar. Di teras rumah terlihat beberapa tumpukan kayu bakar yang tak rapi. Pintu dan jendelanya tertutup rapat, hanya pintu samping rumah, akses menuju dapur, yang terlihat sedikit terbuka.

Padahal dahulu, saat aku TK, rumah ini cukup asri dengan halaman yang bersih dan terdapat beberapa jenis tanaman buah-buahan maupun bunga-bunga pemanis.

Setiap aku lewat saat akan berangkat kesekolah, halaman rumahnya selalu tersapu bersih. Semua tertata pada tempatnya. Keteduhan dan keasrian rumah ini sempat menarikku untuk sekedar beristirahat seusai sekolah. Bahkan aku dan beberap teman, sempat diberi makan siang dan minum oleh pemilik rumah yang aku anggap sangat baik dan ramah itu.

Kini keramahan rumah itu telah pudar. Aku kembali memasuki halaman itu. Halaman yang dulu selalu membuatku tertarik untuk singgah.Sejenak ku pandangi lekat rumah itu, lalu kuucapkan salam.

"assalamu 'alaikum"..tak berjawab. Aku ulang beberapa kali tetap tak berjawab. Ku panggil namanya dengan agak keras. Tetap tak ada jawaban. Saat aku mulai putus asa, aku melihat sedikit celah di pintu dapur. Begitu aku intip ke dalam, aku lihat sesosok tubuh kecil ringkih meringkuk kecil di sebuah kursi panjang disudut ruangan, dia tampak kesakitan.

Segera aku masuk dan mendekatinya. Benarlah, ia memang sakit, dia tak tidur, tetap terjaga. Aku lalu mengambil kursi kudekatkan kearahnya, aku duduk didekatnya. Kami mulai berbincang. Aku sempat terkejut, ia masih mengingatku. Renta tubuhnya tak merusak daya ingatnya. Ia menanyakan aktivitasku sekarang. Sesaat lalu mulai bergulir cerita-cerita masa lalu dari mulutnya yang keriput. Suaranya lemah, diselingi dengan tarikan nafas yang berat. Saat kulontarkan kekhawatiranku akan kesehatannya, ia menyanggahnya.
"...aku sih pengen ngobrol nduk, aja mbok punggel. ra enek critane wong mati merga kakehan omong, rungokno kene, sih gelem to ngancani aku guneman."ujarnya
Dan aku biarkan ia bercerita, mungkin sudah terlalu lama ia memendamnya. Terlihat ia sangat kesepian. Telah lama ia tak berkawan, telah lama ia sendirian. Sendirian dirumah yang dulu riuh dengan canda anak-anaknya.

Ia bercerita tentang anak-anaknya. Sekilas aku menangkap nada bangga dalam ceritanya. Anak pertamanya menjadi pebisnis kayu ulung di Kalimantan, telah menikah dan memiliki empat orang anak. Walau anak pertamanya ini jarang pulang, ia sering mengiriminya barang dan uang, begitu ujarnya. Anak ke duanya menjadi salah satu pejabat di salah satu dinas yang berada di Jakarta. Pekerjaan yang menumpuk membuatnya tak bisa mengambil waktu liburan dan sekedar melihat orang tuanya di kampung. Namun bisa dipastikan, setiap lebaran anak ke duanya bersama suami dan ke-tiga anaknya pasti selalu datang berkunjung. Anak ke-tiganya, lama tak ada kabar dan tak pernah kembali sejak bertahun menjadi TKW di negeri tetangga.

Sesaat ia berhenti, matanya berkaca-kaca. Nafasnya kembali tersengal. Ku beri ia minum air putih yang telah disiapkan didekatnya.
"...yu Tunirah, omah mburi wie lho nduk, lak isuk karo sore mrene, yo resik-resik, umbah-umah, masak, nyibin, kabeh ditandangi " ucapnya saat aku tanya siapa yang menyiapkan segala kebutuhannya.
"lak dalu kalian sinten mbah"
"dewe, tapi kadang Dasinah, nginep kene" Rupanya adiknya yang telah sama-sama renta yang terkadang menemaninya saat malam tiba.

Kami kembali berbincang. Berkali ceritanya terhenti, kadang karena ia terlihat berkaca-kaca, terkadang karena ia butuh jeda untuk mengatur nafasnya. ada rasa perih, haru dan kagum padanya. Ia yang telah renta sendirian di rumah besarnya. Ia yang memiliki tiga orang anak dan tujuh cucu harus sendirian jauh dari anak dan cucunya. Ia yang sakit harus dirawat orang lain, tetangganya. Ia yang hanya bisa meringkuk di kursi panjang di sudut dapurnya, padahal anak-anaknya telah memberikan kasur empuk di salah satu kamar di ruangan rumah besarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan Dalam Pasungan

Percikan air tujuh sumur yang bercampur d engan bunga tujuh rupa diguyurkan ke seluruh tubuhku. Dingin yang tiba-tiba menyengat kesadaranku...