Rabu, 24 Agustus 2011

Negara(pun) Masih Berhutang(padaku)


Sore itu,  15 tahun yang lalu, pada bulan seperti ini Agustus, aku keluar dari Polwiltabes dengan embel-embel wajib lapor. Ya, aku memang menjadi tahanan politik di Polwiltabes Surabaya mulai Akhir September 1996, setelah dua minggu sebelumnya aku diculik dan disekap di suatu tempat yang dikemudian hari aku tahu adalah Denintel Bakorstanasda.

Aku tidak tahu apakah aku ditangkap atau diculik. Jika diculik, aku diambil dengan sepengetahuan orang tuaku, walaupun mereka akhirnya tidak tahu keberadaanku. Namun jika dikatakan ditangkap, tidak pernah ada surat penangkapan dari kepolisian. Namun aku lebih suka menyebutnya dengan penculikan karena keberadaanku yang dirahasiakan dari orang tuaku sendiri. Selain itu aku dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain pada tengah malam, dengan pengawalan ketat, dan tentu saja dengan tanpa kegaduhan.


Pada September  itu, aku ingat,  aku sedang mengisi liburan dengan pulang kampung di rumah. Aku sama sekali tidak menduga jika kerusuhan Jakarta yang kemudian disebut dengan ‘Kudatuli’ itu akan menyeretku dalam ‘tahanan’.  Sebelum ini dua kali aku ‘tertangkap’ dan dibebaskan keesokannya dengan dakwaan tipiring, pada November 1995 pada aksi buruh Sritex Solo dan pada 8 Juli 1996 pad aksi pemogokan buruh di Tandes. Maka saat aku dijemput oleh aparat Polres dan Kodim Blitar, aku masih saja mengira esok pasti sudah dibolehkan pulang. Saat itu aku masih mejadi mahasiswa sospol universitas airlangga dan baru semester 2, selain itu aku memang tergabung dalam SMID organ PRD yang lalu dipersalahkan atas kejadian 27 juli itu.
Awalnya aku dibawa ke Polres Blitar. Saat perjalanan, tidak ada intimidasi, dan bahkan keyakinan aku pasti dilepas keesokan harinya cukup membuatku tenang. Entah apa yang membuatku berpikir demikian, padahal aku tahu bagaimana ramainya PRD dipersalahkan atas kasus Kudatuli tersebut, juga aku tahu bagaimana kawan-kawanku satu persatu diambil tentara baik dari rumah, ataupun dari jalan.

Begitu tiba, suasana polres yang semula lengang karena memang hari sudah menjelang petang, tiba-tiba agak sedikit sibuk. Semua orang berbisik. Aku dibawa ke ruangan yang cukup luas, dengan banyak meja dan kursi yang sudah tidak ada penghuninya. Kemudian aku diminta duduk pada salah satu kursi. Agak lama aku dibiarkan sendirian. Selama menunggu ada beberapa orang yang menanyaiku sambil lalu tentang keberadaanku di SMID maupun PRD. Lalu datang seorang perwira menengah yang mengintrogasiku secara resmi. Aku sempat protes tentang surat resminya, namun tidak ada jawaban. Bahkan katanya tidak ada gunamya, toh nanti malam aku sudah pasti pulang. Begitulah, aku agak lupa pertanyaan apa saja seingatku ya tentang aktifitasku di SMID, baru sekitar pukul 21.00 introgasi rampung. Aku sudah melihat Bapak dan Ibu ku di luar, semakin yakin aku akan pulang. Lalu aku diminta pindah ke ruangan Kapolres, disana aku kembali ditanya-tanya kali ini tidak lagi dari Polres Blitar tapi dari Madiun dan Kodim Blitar. Interogasi berjalan hingga hampir dini hari, karena larut Bapak dan Ibuku diminta pulang dan diminta esok pagi datang kembali. Keyakinanku untuk segera pulang masih demikian kuat.

Hampir tidak tidur, pagi itu aku ternyata tidak diperbolehkan pulang. Dengan naik mobil Taft GT aku bahkan dipindah ke Kodim Blitar. Aku sempat protes kuatir dengan Bapak dan Ibu, namun lagi-lagi mereka membungkamku dengan dalih akan segera pulang, hanya butuh tambahan keterangan sedikit, kilah mereka. Dan sungguh bodoh, aku mempercayai mereka. Tak beda jauh dengan saat di Polres, kali ini aku dibawa pada ruangan besar yang luas, seperti aula, kosong, hanya ada sebuah meja besar melingkar dengan sedikit kursi. Aku diminta duduk pada salah satu kursinya, lalu interogasi dimulai lagi. Aku sempat jenuh, tapi interogasi tak berhenti hingga sore hari. Aku baru menyadari belum mandi dari kmaren sore, kmudian mereka menyuruhku mandi, aku diberi baju ganti yang aku kenali sebagai bajuku. Ah, rupanya orang tuaku telah mengirimiku baju, dan baru dikemudian hari aku tahu bahwa mereka tiap sore mendatangiku dan mengirimiku baju dan penganan walaupun aku sudah dipindah tempat tanpa mereka diberitahu, dan harapan pulangpun hilang berganti kecemasan.

Malam itu, aku tertidur di kursi, aku dibangunkan dengan sedikit kasar. Saat aku Tanya aku diminta diam dan menuruti mereka saja. Aku dibawa ke mobil kijang tua, ada empat orang laki-laki berbadan kekar, mereka memintaku duduk pada bangku tengah dan menempatkanku diantara keempat laki-laki itu. Jalanan sudah sangat sepi, tengah malam agaknya, hanya beberapa kali masih ada satu dua kami berpasapsan dengan grup latihan gerak jalan menjelang tujuhbelasan. Aku tidak tahu akan dibawa kemana, mobil melaju kearah timur. Apakah aku akan dipertemukan dengan kawan-kawanku yang aku tahu dari Koran telah ditangkap. Namun jika ditangkap mereka dibawa kemana? Ketakutanku tak terhingga, aku takut ‘dihilangkan’. Ketidakpastian dan ketidaktahuanku ini begitu menyiksaku, aku gelisah, dan aku menjadi sangat takut.

Setelah kota malang terlewati, mobil mengarah pada arah Surabaya. Ah, rupanya aku akan dibawa kesana. Namun kecemasanku tak jua hilang, bisa saja mereka tiba-tiba berbelok pada tempat sepi, memperkosaku dan membunuhku lalu meninggalkan tubuhku disemak atau diselokan, bayangan kejadian yang dialami Marsinah membuatku sangat gelisah. Dan sepanjang jalan aku tidak bisa mengatasi kegelisahanku. Aku menajamkan mata agar tetap paham keberadaanku di daerah mana. Apalagi  saat masuk Surabaya, aku menjadi sangat tegang. Aku sangat mengenali saat sampai pada Jalan A. Yani, lalu mobil masuk jalan kecil melewati belakang kantor Golkar dan berhenti pada bangunan yang dijaga militer tanpa ada papan nama kedinasan pada latarnya. Pada bangunan ini rupanya aku dibawa, saat itu hari menjelang subuh. Aku sedikit lega walaupun aku tidak tahu akan ada apa dalam gedung ini. Setidaknya aku masih hidup, inilah yang melegakanku.

Kelegaanku tak bertahan lama, baru beberapa langkah aku keluar mobil, ada suara begitu galak membentakku

“..PKI darimana lagi ini?” Aku diam tak merasa aku yang dimaksud. Dan dikemudian hari, istilah PKI ini menjadi tidak asing untuk penybeutan kami.

“hei..kamu! Kamu gak hapal Pancasila kan? Sini..Hormat bendera dan baca Panasila dengan suara keras” bentaknya lagi.

Aku hanya menurut. Namun walau aku telah benar mengucapkan sila-sila Pancasila, ia tetap menyalahkanku dan membentakku. Aku diminta tetap mengucapkan sila-sila itu dan ia meninggalkanku. Tak lama berselang, datang lagi seorang perwira, ia menyuruhku berhenti dan membawaku ke ruangan atas. Ia memberitahuku, bahwa ditempat itu tidak ada hukum dan tempat itu kebal hukum. Sebelum aku dibawa keatas, ia membisikiku akan mempertemukan dengan seseorang. Lalu aku dibawa ke ruangan yang berada disudut bangunan, dari ruangan tersebut keluar temanku, Icha. Serta merta kami berpelukan, saat itu ia membisikiku agar membuka sesedikit yang aku bisa. Aku paham maksudnya. Kami tak bisa lama bersama, juga tak bisa berbincang. Aku segera dibawa ke atas, keruanganku. Rupanya ketempat ini pula kawan-kawanku lainnya dibawa.

Begitu pagi benar, orang berganti lagi masuk ke ruangan tempatku di tempatkan. Ia menanyaiku hal-hal dasar saja, seperti nama, alamat, aktivitas oraganisasi, dsb, tanpa bentakan juga tanpa intimidasi. Ini sedikit melegakanku. Sedikit lebih mencairkan keteganganku yang aku rasai dari mulai perjalanan dari Blitar ke Surabaya hingga bentakan penyambutan tadi. Namun ini juga tak berlagsung lama. Saat aku dipindah ke ruang bawah, aku dibentak tak hapal Pancasila lagi, lalu aku dibawa ke halaman depan, dibawah bendera aku diminta meyanyikan lagu Indonesia Raya. Sejenak harga diriku berontak, lalu aku ingat bisikan disini tidak ada hukum, dan disini kebal hukum, dan dengan pasrah aku menuruti apa yang diperintahkan untukku.

Diruanganku yang baru, sebuah ruangan 3x2 m, ruangan itu tanpa jendela, hanya ada 1 pintu tanpa fentilasi udara lain, di dalamnya hanya terdapat sebuah meja dan dua buah kursi yang diatur berhadapan. Aku disuruh duduk pada salah satu kursinya. Katanya, aku tidak diperbolehkan mendengarkan radio, tidak boleh melihat tv, tidak boleh membaca surat kabar (karena disitu memang tidak disediakan tv, radio, ataupun surat kabar) tidak boleh berbicara jika tanpa disuruh, juga tidak boleh saling menyapa. Belum-belum aku sudah merasa ngeri, selama ini aku tidak bisa jika tanpa musik ataupun tanpa membaca, entah sebaris atau dua baris. Hak sosialku benar-benar telah dirampas sebelum aku diadili. Lalu dimulailah interogasi itu.

Banyak hal ditanyakan, pada semua hal aku selalu digiring pada pengakuan asal dana, dan perencanaan makar. Aku bertahan, mereka menyebut nama-nama, aku bertahan dengan meminimalisir penyebutan nama. Begitu jawabanku terlihat lemah, mereka mengancamku. Mereka mengancam akan menelanjangiku. Mereka bilang tempatku sekarang ini adalah tempat dulu Mutiari (kasus Marsinah) diperiksa, dan jika dirasa Mutiari berbelit mereka tak segan membuat bugil Mutiari. Mereka mengingatkanku akan kuasa mereka, apapun yang mereka lakukan, bahkan jika hingga aku matipun, mereka tidak akan pernah bisa dituntut. Saat itu yang aku takutkan bukan mati, tapi diinterogasi dengan tanpa sehelai bajupun, tetapi aku tahu, dengan mengungkap banyak nama dan kejadian tidak akan menyelamatkanku atau menyelamatkan apapun dari apapun, maka aku memilih tetap bungkam, memberitahu sesedikit yang aku mampu. Keadaanku yang belum terlalu lama bergabung di SMID terkadang membuat mereka tak terlalu menekanku jika aku member jawaban tidak tahu.
Begitulah, setiap hari, pagi,siang, sore, hingga malam, aku diintrogasi dengan berganti orang. Tidak ada istirahat kecuali saat makan dan mandi. Intimidasi dan bentakan tak pernah berhenti, walaupun ada juga yang memposisikan sebagai malaikat dengan tujuan sama, memperoleh informasi sebanyak mungkin. Aku sebagai individu menjadi hilang, aku tak memiliki hak atas apapun, bahkan atas tubuhku. Tidak boleh ada kata lelah. Saat makan, kami dikumpulkan dalam satu tempat. Bukan tempat yang layak. Kami sering hanya makan di lantai, saat makan kami dilarang keras untuk berbincang atau sekedar saling menyapa atau tersenyum. Kami semua dijadikan robot. Makanan tidak boleh bersisa, dengan cara apapun kami harus menghabiskannya, bahkan dengan kekerasan.

Jika ada kawan yang baru datang, kecemasan dan ketakutan membayangi kami yang telah duluan tertangkap. Karena bisa jadi ada tambahan keterangan, atau keterangan yang berbeda yang membuat kami diinterogasi lagi. Dalam interogasi ini, mereka akan dengan kejam menyiksa dan mengancam. Bahkan ada kawan yang dipaksa untuk saling memukul karena keterangan yang berbeda. Sungguh kami tak lagi dianggap sebagai manusia. Tak hanya itu, jeritan kawan-kawan lelaki yang dipukul, diestrum, disiksa membuatku tak bisa bernafas. Sesak nafasku berulang kambuh, aku bahkan pernah hampir pingsan saat tengah malam kami bersama dikumpulkan di tengah lapang diminta berlarian mencari katak. Katak itu tidak hanya sekedar dicari, tetapi disimpan, diumpamakan kawan kami yang belum tertangkap. Katak itu tidak boleh hilang, jika hilang, hadiah pukulan pasti akan diterima. Dan yang sungguh diluar batas, katak itu ada yang sebagian diminta untuk dimasukkan kedalam celana dalam kawan laki-laki dan ada juga yang diminta untuk menelan katak itu hidup-hidup. Derita kawan laki-laki lebih tidak manusiawi, tidak ada satu orangpun dari mereka yang wajahnya tak memar, jontor bibir, bahkan terkadang, aku tak mengenali mereka karena luka yang luar biasa. Setiap hari mereka tidak boleh berbaju, hanya menggunakan celana dalam saja, baik sepanjang siang ataupun sepanjang malam. Belum lagi siksaan fisik dan psikis yang mereka terima. Ya, inilah Negara hukum yang menculik warga negaranya sendiri.  Inilah Negara Pancasila yang menyiksa warga negaranya sendiri. Inilah Negara besar yang menyidik bukan pada lembaga resminya, yang memberi hukuman tanpa mengadili, yang menguasakan bebas hukum pada individu lain tanpa proses hukum yang wajar.


Begitulah, selama kurang lebih dua minggu aku mengalami pemaksaan penyidikan, penculikan, intimidasi dan perampasan hak secara paksa oleh Negara dengan menggunakan lembaga yang mengatasnamakan Bakorstanasda. Aku dipaksa mengakui skenario besar tentang perebutan kekuasaan. Aku yang hanya seorang mahasiswi semester dua sebuah perguruan tinggi negeri di Srabaya dituduh makar, divonis tanpa pengadilan, dan ditangkap tanpa surat penangkapan. Dari peristiwa ini, masih ada kawan kami yang hingga sekarang belum kembali. Aku masih beruntung, karena setelah dari Bakorstanasda ‘hanya’ dialihkan ke Polwiltabes Surabaya dan akhirnya bebas dengan wajib lapor. Tidak pernah ada pengadilan buat kami. Juga tidak pernah ada keadilan buat kawan kami yang masih dihilangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan Dalam Pasungan

Percikan air tujuh sumur yang bercampur d engan bunga tujuh rupa diguyurkan ke seluruh tubuhku. Dingin yang tiba-tiba menyengat kesadaranku...