Minggu, 06 November 2016

Malaikat Lereng Tidar - Remy Sylado



Buku karya Remy Sylado yang di terbitkan oleh Kompas Media Nusantara tahun 2014 ini sebenarnya sudah cukup lama saya beli. Belum sempat saya selesai membacanya, buku ini sudah dipinjam seorang kawan, dan baru beberapa waktu yang lalu kembali.  Remy  Sylado, adalah salah seorang pengarang favorit saya. Saya menyukai gaya Bahasa ringan dengan selalu menyertakan Belanda dan Jawa menjadi bagian besar setting kejadian, tema cerita, atau bahkan keseluruhan cerita atau menjadi beberapa tokoh cerita.  Buku setebal 542 halaman ini terdiri dari banyak Bab yang masing-masing Bab hanya berisi 3-4 halaman bahkan ada beberapa bab yang hanya berisi selembar halaman. Bisa jadi, ini bukan bab dalam artian seperti bab dalam buku-buku pada umumnya. Bisa jadi, yang saya sebut bab ini hanya highlight pengarang tanpa meninggalkan kesan runtut sebuah cerita, dan selanjutnya saya tetap menyebutnya sebagai bab.  Satu lagi yang saya sukai dari buku ini adalah pada bagian akhir bab disertakan quotes yang menarik, beberapa diantaranya saya pergunakan sebagai status facebook maupun caption IG saya. Seperti misalnya, Jelaga paling jelaga barangkali bukan di mata tapi di mulut (hal. 254) Pada bab Prabu Dewa Srani. Prabu Dewa Srani ini merupakan anak Bathari Durga dalam dunia pewayangan. Prabu Dewa Srani mempunyai sifat dan perwatakan serakah, bengis, kejam dan suka membuat usil dan mau benarnya sendiri, mungkin karena itulah Remy Sylado menggunakannya untuk judul bab ini. Pada bab ini memang diceritakan bagaimana Ibu tokoh utama, Toemirah, saat hamil lima bulan, dimana ayah tokoh utama Jehezkiel atau Jez Malikul sedang menjadi serdadu Belanda pada perang Aceh. Toemirah yang sedang hamil masih tetap diinginkan oleh Soembino, seorang juragan yang sudah memiliki tujuh istri, dan seorang yang jika memiliki keinginan tidak segan untuk menculik, membunuh, atau membakar. Soembino disini oleh Remy Sylado menjadi perwujudan tokoh Prabu Dewa Srani.  Pada bab-bab lain dan hampir seluruh bab dalam buku ini merupakan kisah bagaimana Soembiono berperilaku anarkhis, menyuap pejabat, mencoba memperkosa Toemirah, menghasut, membayar preman, dan membabi buta melaksanakan aksi balas dendam terhadap Toemirah yang telah menolak cinta nya.

Buku ini merupakan cerita Ny. Jezmira Van Versege yang sedang mencari riwayat nenek buyutnya. Jezmira tinggal di Belanda, dimana nenek buyutnya adalah orang Indonesia yang tinggal di lereng Tidar, Magelang. Dari sinilah cerita ini bergulir. Bab per bab menceritakan bagaimana sosok Jezmira lahir. Ibu ayah Ibu Jezmira adalah orang Indonesia asli yang kemudian memilih tinggal di Belanda. Ibu Jezmira, Toemirah digambarkan sebagai sosok jelita pegunungan.Ayah Jezmirah, Jehezkiel, orang Minahasa yang menjadi serdadu dan dikirim dalam Perang Aceh. Diceritakan bagaimana kejelitaan Toemirah hingga bertemu Jez Maliku, dan jatuh cinta pada pandangan pertama, juga tentang perkawinan, lahirnya jezmira, juga bagaimana tercerai berainya Toemirah dan Jez Maliku.
Seperti  novel-novel Remy Sylado yang lain, penggambaran sejarah begitu kuat dalam novel ini. novel ini  dilatar belakangi penggambaran masa jaman penjajahan Belanda. Remy sylado begitu detail memberi gambaran tentang kehidupan masyarakat pada masa tersebut, juga bagaimana prilaku polisi yang dalam buku ini disebut dengan hamba wet atau opas. Pada beberapa bagian Remy Sylado menyertakan sumber penggunaan istilah seperti dalam bab Karena kita Miskin. Dalam menulis novel, Remy mengandalkan riset. Untuk menulis novel berlatar belakang penjajahan Belanda, Parijs Van Java (saya akan menuliskan resensinya secara terpisah lain waktu) misalnya, ia mengadakan penelitian khusus di Utrecht, Belanda.

Dalam bab Perkara Bisa Diatur dituturkan bagaimana Soembiono berkeinginan menghancurkan Toemirah dengan memanfaatkan Agen polisi Wage. Dendam Soembiono menebar kebencian dengan mengumbar kekerasan dan malapetaka bagi hidup Toemirah. Soembiono menganggap uang dapat membeli apapun dan siapapun.  Soembiono pun menyusun rencana culasnya dan membayar agen polisi Wage untuk melaksanakan rencana-rencana balas dendamnya Pada akhir bab ini ditulis, keyakinan yang tahan kritik barangkali mesti dibangun dari kesalahan langkah, sebab matahari setia muncul di timur tapi puisi mengubah realitas kosmik. Pada bagian selanjutnya, diceritakan bagaimana kemudian Toemirah ditangkap polisi, sampai kemudian Jez Maliku di penjara demi membela martabat sang istri, hasil perilaku culas Soembiono yang menyogok Tuan Overste, pengakuan cowek yang selama ini menjadi anak buah Soembiono dan bagaimana ayah Toemirah, Ngatiman, benar-benar membakar rumah Soembiono.
Sebagai seorang novelis, Remy Sylado memiliki kelebihan tertentu. Ia menguasai beberapa bahasa asing, termasuk Mandarin, Jepang, Arab, Yunani, dan Belanda. Keahliannya tersebut juga dia selipkan pada beberapa istilah dalam novel ini. Pada satu bab Jo Anak Mama Remy Sylado banyak menggunakan Bahasa Minahasa berbentuk resitatif
Sa en kure anyo
Ro ‘na pe’ me’taled
Wo camu ro’nape’
Rumuru a se toyaan

--Jika periuk tanah ini/masih bisa dipersatukan kembali/barulah engkau boleh/ mendatangi kembali anakmu—

Pada Epilog novel ini dituturkan Remy Sylado bahwa Indonesia kini tengah terjadi kejahatan kemanusiaan yang amat serius justru karena padahan kata “menyamakan persepsi’ itu. Darinya berulangkali terjadi pelecehan structural terhadap kemanusiaan, dan di sana negara selalu absen (hal 538). Juga ditulis bagaimana tokoh utama bangga disebut oleh suaminya sebagai orang Indonesia, dan merasakan rindu untuk kembali pulang ke Indonesia.

Terang bulan terang di hati barangkali
Karena cinta sejati adalah cinta ilahi
Turun dari sorga ke dalam sekat nurani
Takkan terkalahkan oleh ancaman maut.

**
Percaya hanya ada barangkali
Dalam kebebasan berkata lugu

Sisanya ada dalam kebingungan, mencari dan tidak menemukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan Dalam Pasungan

Percikan air tujuh sumur yang bercampur d engan bunga tujuh rupa diguyurkan ke seluruh tubuhku. Dingin yang tiba-tiba menyengat kesadaranku...